Empat hari sebelumnya, di Lebak Bulus, Saya tengah celingak-celinguk mencari keberadaan Ori dan Suwasti yang sudah dulu sampai di terminal ini, kami memang hari ini akan berangkat mendaki gunung Merbabu di Jawa Tengah. Dari Jakarta kami berjumlah lima orang, dua orang lainnya yaitu Heru dan Titi ungu yang saya yakin sekarang juga sudah meluncur menuju terminal bus Lebak Bulus. Dua anggota tim lainnya yaitu Mba Rachmi dan Bowo akan bergabung dengan kami di desa Wekas, tempat dimana kami akan memulai pendakian. “Ori dimana posisi elo tepatnya?” akhirnya saya menelpon Ori karena belum juga menemukan mereka berdua, “di rumah makan padang bang, didepan bus yang mau ke Garut” jawab Ori diseberang telpon. Akhirnya tak beberapa lama kemudian kami sudah berkumpul semua, dan bukan itu saja kami juga sempat betemu dengan teman-teman dari milis #Pendaki yaitu Nanda cs yang akan berangkat ke Gunung Slamet.
“+=*&^%$#..??” si kenek bus bicara sama Ori dengan bahasa Jawa, saat itu bus sudah mendekati kota Magelang tepatnya di kota Bawen, rupanya kami akan diturunkan di Bawen sini karena dengan alasan mobil yang kami tumpangin ini tidak menuju Magelang. “tuiiiingggggg” seperti biasa saya langsung ngomel, mereka menyalahkan kita ngga baca dulu busnya sebelum naik. Padahal sebelumnya di Lebak Bulus yang menyuruh kita naik bus ini adalah petugas mereka. Sedikit argument dan ribut akhirnya kita ngalah dan turun di Bawen, si kenek itu memberikan uang operan pada calo untuk mecarikan kami mobil ke magelang, dalam hati saya berjanji untuk tidak naik Kramat Jati lagi, jarum jam masih menunjukan jam empat pagi, udara cukup dingin dan basah karena habis hujan. Dengan kondisi begini, akhirnya kita memutuskan untuk carter angkot hingga ke Magelang dari sana kami langsung carter kendaraan menuju desa Wekas.
“Ayo turun dulu, ngga kuat nih mobilnya” ajak Ori saat Mobil Zebra Espass yang kami tumpangi tidak mampu melewati tanjakan terjal menuju Desa Wekas, hari masih pagi sekitar jam enam, masih basah dan cukup dingin. Mau tidak mau akhirnya kami turun, dan sang Zebra mengambil ancang-ancang dan lanjut meraung-raung mesinnya melewati tanjakan tersebut. Memang kondisi jalan cukup terjal dan jalannya berlapis batu-batu licin. Desa Wekas ini berada di ketinggian 1722m dari permukaan laut, dari belakang rumah kuncen gunung ini yaitu pak Sutyoso kita bisa memandang lepas kearah gunung Sumbing dan Sindoro yang gagah berdiri. Kami disambut oleh Bowo saat sampai di rumah pak Yoso, saya langsung masuk dan betemu pak Yoso juga Mba Rachmi dengan pasukannya, rupanya pada pendakian pertamanya mba Rachmi diantar oleh temannya Romna yang kemudian akrap saya panggil Romla, kemudian mba…????..aduh namanya lupa, disamping itu juga ada anaknya mba Racmi serta anak temannya itu. Mereka akan mengantarkan mba Rachmi hingga minimal sampai pos 1.
Hanya sebentar kami di basecamp nya pak Sutiyoso ini, masih pagi dan kamipun langsung memulai pendakian setelah berdoa bersama dan meneriakan yel..yel.. “Baaweenn.!!” Yah.. akhirnya kata bawen menjadi yel-yel kami, dan Herupun menjadikannya sebagai kalimat ledekan saat bercanda dengan Suwasti. “elo sih karena Bawen dan banyak makan Bakwen kita jadi turun di Bawen…hahahahahahahaha” demikian joke yang diucapkan Heru. Sebelum kami akhirnya berangkat memulai pendakian ke Merbabu.
aku mau mendampingi dirimu
aku mau cintai kekuranganmu
selalu bersedia bahagiakanmu
apapun terjadi
Ku janjikan aku ada
Kau boleh jauhi diriku
namun ku percaya
kau akan mencintaiku
dan tak akan pernah melepasku
Alunan Aku Mau – nya Once mengalir dari speaker kecil yang tergantung di ransel saya, entah kenapa lagu tersebut menempati urutan teratas di tangga lagu kegemaran saya saat ini, dan menemani langkah kami menapaki jalan setapak rute pendakian Wekas. Jalan setapaknya yang awalnya berupa susunan batako yang di semen sekarang sudah berganti dengan jalan tanah yang cukup licin namun jelas terlihat, sementara rombongan pengantar Mba Rachmi tampak bersemangat sekali menapakinya, cuaca mendung dan sesekali kabut turun. Selepas pos 1 rombongan pengantar mba Rachmi kembali turun, dan kami terus bergerak menuju Pos 2. keadaan rute pendakiannya cukup menanjak karena ini jalur direct jadi tidak heran tanjakan curam cukup banyak ditemui.
“wow indah sekali” saya berdecak kagum saat memasuki pos dua, dari pos dua ini jejeran punggungan dan puncak-puncak jelas terlihat. “Ori mirip dengan view di basecamp pegunungan alpen di Jepang, bedanya disana puncak-puncak dan pungungan itu berwarna putih tapi kalo disini hijau” ujar saya pada Ori yang juga tengah enjoy dengan view di pos II ini. Sesekali kabut turun menutupi jajaran puncak-puncak tadi tapi kemudian kembali tersingkap, indah sekali. Nun dibawah lembah sana terlihat air terjun yang cukup besar sehingga bunyi pecahan airnya terdengar hingga ke tempat kami berdiri.
Selesai makan siang, tidak bisa berlama-lama disini karena mendung sudah semakin tebal, dan benar saja saat baru melangkah meninggalkan Pos II hujan turun dan semakin deras, kami terus melangkah kabut juga membuat jarak pandang semakin pendek, jalan setapakpun berubah menjadi aliran air seperti sungai kecil. Kami terus melangkah untunglah kami sudah siap sedia dengan kondisi “wet weather” begini.
Selesai magrib makan malam kami sudah siap, ada sayur oseng buncis campur terong, tempura terong, Ikan asin, goreng daging kambing. Mhmmm lahap sekali kita makan bersama, sementara diluar tenda kabut masih menggatung menutupi jarak pandang kami. Tidak berapa lama kemudian kami akhirnya menyerah pada kantuk yang menyerang dan satu persatu akhirnya rebah terlelap didalam kehangatan sleeping bagnya masing-masing, diluar angin masih terdengar cukup kencang, alunan Nothing Gonna change my love for you – nya Peabo Bryson dari speaker Ipod yang tergantung di disisi tenda bagian dalam terus mengalun dan malampun jatuh semakin jatuh terlelap……
Jarum jam sudah menunjukan angka delapan tapi sepertinya kabut masih terus menyelimuti kawasan Merbabu, tidak ada yang bisa dilihat kecuali putih. “Bang gimana menurut elo?” Tanya Ori, “ kita tunggu aja dulu sapa tau ntar kabut beranjak” sahut saya pada Ori. Tapi ternyata kabut merbabu semakin tebal dan malah sekarang angin mulai bertiup semakin lama semakin kencang. “bang kayaknya ngga mungkin nih kita bawa ransel ngelewati badai begini, gue cemas sama yang cewek-cewek, gimana menurut elo” Tanya ori setelah melihat kemungkinan tipis sekali cuaca berubah menjadi baik. Saya diam sejenak dan melihat sekeliling. “gimana bang, kalo kita naik tanpa ransel aja, barang tinggal disini?” lanjut Ori. “ya tapi ngga bisa kita semua yang naik, bisa-bisa hilang semua nih tenda berikut isinya” sahut saya. Akhirnya setelah cukup lama berdiskusi dan mempertimbangkan keadaan, kami sepakat untuk merubah skenario pendakian yang tadinya rencana akan naik ke puncak dan mendirikan camp II di kawasan puncak dan turun lewat Selo pada hari berikutnya dirubah menjadi tetap ngecamp di Hellypad ini dan turun kembali melewati Wekas. Apa boleh buat demi keamanan, akhirnya kami memutuskan demikian.
“Ok deh kita bagi dua regu aja buat ke puncak” kata Ori, “sapa yang regu pertama? Gue ngikut regu pertama deh, elo gimana Ri?” ujar saya sambil balik bertanya sama Ori, “gue juga ikut yang pertama aja bang.” “Aku juga ikut yang pertama” terdengar suara Titi Ungu juga angkat bicara, dan akhirnya total tim yang pertama menuju puncak dengan ikutnya juga mba Rachmi adalah empat orang.
Menit-menit berikutnya kami berempat sudah berjalan menembus tebalnya kabut dan badai merbabu yang cukup kencang, perlahan dan dengan sangat hati-hati kami melewati “jembatan setan” sebuah jalur yang dikiri kanannya terdapat jurang, kami terus mendaki sesekali saya mengabadikannya. Sementara badai semakin kencang, saat melewati pertigaan puncak Syarif dan puncak Kenteng Songo tiupan angin semakin terasa, kami juga bertemu dengan sekelompok pendaki yang mundur karena tidak tahan angin, saya pikir lebih baik begitu karena dilihat dari pakaian yang mereka kenakan tanpa wind breaker sangat tidak aman sekali jika mereka nekat menembus badai ini. Setelah melewati tanjakan akhir, puncak Kenteng Songo kami raih, kabut pekat dan angin cukup kencang disana, tidak ada pemandangan yang bisa dilihat, setelah istirahat makan snack dan mengambil beberapa foto didekat batu-batu berceruk mirip lesung yang merupakan ciri khas puncak Kenteng Songo ini, kami bergerak turun kembali, tidak langsung turun tapi kami akan mengunjungi puncak ke dua yaitu Puncak Syarif.
Badai masih kencang dan saat sampai kembali di pertigaan puncak kami menemukan pendaki lain yang berlindung dibalik batu dengan cara tiduran dan berbungkus lembar plastik, ternyata mereka tengah menunggu temannya yang masih berada di puncak Syarif. Nasip kami sedikit baik saat berada di puncak Syarif, perlahan kabut tersibak dan badai berhenti namun terkadang tiupan angin masih terasa cukup kencang. Titi dan mba Rachmi berteriak-teriak senang minta di foto saat kabut perlahan tersibak dan terlihatlah sosok puncak gunung Sumbing dan Sindoro yang seakan mengapung diatas awan. Tapi saya sepertinya berpacu dengan kabut, begitu tersibak kembali dia menutup dan terus begitu beberapa kali.
Sosok Merapi terlihat tiba-tiba saat kabut beranjak di arah selatan, awan terlihat menutupi satu sisi bagian timurnya saja, sepertinya dipuncak Merapi juga tengah terjadi badai. Dalam perjalanan turun menuju camp perlahan kabut menghilang dan badaipun berhenti, camp kami di hellypad jelas terlihat dan dengan hilangnya kabut puncak-puncak lainnya juga semakin terlihat. Merbabu mempunyai ciri khas pemandangan yang lain daripada gunung lainnya, karena sembilan puluh persen dari gunung ini hanya di tumbuhi oleh rumput ilalang membuat jarak pandang tidak terhalang dan punggungan serta puncak-puncaknya jelas terlihat berwarna hijau kekuning-kuningan.
“Suwasti jadi kepuncak ngga cepat buruan mumpung cuaca bagus tuh” kata saya saat sampai kembali di Hellypad lokasi camp kami. “ngga ah males” jawab dia. “iya malas ah, gue juga dah beberapa kali nyampe puncak bang” timpal Bowo juga dan Heru sepertinya sependapat. “makan bang tadi kita dah masak tuh” lanjut Bowo, tanpa komando lagi kami yang memang kelaparan dari puncak segera menyantap makanan yang telah disediakan oleh sahabat-sahabat yang baik hati ini. “uuu.. tau ngga pada kepuncak mending kita main-main dulu tadi dipuncak” gumam Titi begitu mengetahui Heru, Suwasti dan Bowo tidak jadi kepuncak.
“Mas-mas tolong teman saya pinsan” ujar seseorang mendatangi tenda kami, rupanya mereka tiga orang pendaki lain yang mendirikan tenda tidak jauh dari tempat kami nenda. Bergegas kami menuju kesana, rupanya yang pinsan itu adalah teman perempuan mereka, saya meraba nadinya dan masih berdenyut normal, “kenapa dia” Tanya Bowo, “tau mas tadi ngga apa-apa malah habis ngerokin dia” sahut cowok yang memanggil kami tadi sambil menunjuk teman cowoknya, “terus tadi tidur tiba-tiba pinsan” lanjut dia lagi. “tadi kehujanan ya? Sudah makan belum dia” Tanya saya. “dia ngga mau makan mas, ngga napsu katanya” sahut temannya. Ya ini sering terjadi pada pendaki pemula, mereka sering kehilangan napsu makan saat mendaki, kehilangan napsu makan dan merasa mual saat mendaki adalah gejala awal dari mountain sickness.
Setelah siuman Titi dan Suwasti merawatnya dengan memberikan minuman dan makanan hangat. Kami kembali ke tenda setelah keadannya kembali normal, hanya Titi dan Suwasti masih disana, namun tidak lama mereka bedua sudah kembali, malam semakin larut angin sepoi-sepoi berhembus, purnama bulat penuh. Lega rasanya pendaki cewek itu bisa diselamatkan.
“Bang bagun bang… bagus nih….!!!” Terdengar teriakan Ori dari luar tenda, saya tersentak bangun. Pulas sekali tidur, masih sekitar jam 5 pagi saya ragu untuk keluar takut dikerjain lagi seperti kemaren, namun rupanya benar sat keluar tenda saya lihat purnama sudah condong, sementara di ufuk timur bias sang fajar perlahan muncul menggantikan sinar purnama. Namun sayang awan cukup tebal di ufuk timur sehingga bias yang muncul tidak begitu jelas. Saat matahari semakin naik, kami yang cowok-cowok turun ke arah mata air didekat kawah untuk mengambil air, mata air ini mengalir keluar dari sebuah lubang dan dialirkan pada pipa-pipa turun ke perkampungan, pipa-pipa ini bisa ditemukan disepanjang rute pendakian jalur Wekas, bahkan sumber air di pos 3 berasal dari pipa yang dibolongi. Memang rasa airnya sedikit asam, tapi lebih baik dari pada kehausan.
Selesai sarapan dan packing-packing kami sempatkan untuk foto bersama dan setelah itu kembali kaki-kaki kami menapaki jalur setapak turun kembali ke Wekas, tidak terlalu lama waktu yang kami perlukan untuk mencapai Wekas hanya kurang lebih 5 jam kemudian kami sudah berada kembali di rumah pak Sutyoso sang kuncen jalur Wekas. Kami bermalam disini dan baru turun ke Jogja keesokan harinya untuk bertemu Mba Lia moderator HC Jogjakarta.
Sewaktu mobil pickup yang kami tumpangi bergerak meninggalkan Wekas tampak sosok Merbabu yang kembali ditutupi kabut, namun dibalik kabut itu tersimpan pemadangan yang indah, cerita yang indah yang mudah-mudahan terus berlanjut menjadi alur yang indah dan bukan hanya sebagai kenangan indah “Dibalik kabut Merbabu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar