Ya.. ini adalah perjalanan pendakian bersama highcamp yang kesekian kalinya semula yang daftar cukup banyak tapi pada saat pelasanaannya banyak juga peserta yang berguguran baik karena alasan pekerjaan dan urusan yang datang mendadak. Dan jadilah yang tadinya berjumlah 27 orang tersisa hanya 9 orang. Belum lagi pesawat kami dari Jakarta yang delay dan menyebabkan kami harus lari sprint di bandara Juada agar tidak tertinggal pesawat selanjutnya menuju Mataram, dan semuanya bisa berhasil dilalui berkat kerja sama tim yang kompak dari teman-teman seperjalanan. Dan tidak lama kemudian kami sudah berada didalam minibus yang bergerak meninggalkan kota Mataram menuju Desa Pancasila dimana titik awal pendakian ke puncak Gunung Tambora berada. Sampai di Desa pancasila pada keesokan paginya setelah menempuh perjalanan semalam suntuk dari Mataram, namun sempat sejenak menikmati sunset di selat Sumbawa sewaktu kami menyeberang dari pulau Lombok, terlihat puncak Rinjani yang mencuat berdiri.
Pos III sendiri merupakan sebuah areal yang cukup luas bisa menampung sepuluh tenda, disini ada sebuah pondok dan sekitar 300 meter kita akan menjumpai sebuahmata air. Pos ini biasanya digunakan sebagai areal basecamp oleh pendaki, mereka akan menginap di sini dan baru dini harinya melakukan pendakian ke puncak. Pilihan seperti ini dilakukan karena pos IV dan pos V tidak memiliki sumber air. Pos III ini kami capai saat jarum jam menunjukan pukul 5 sore. Saya, Zaidi, Saeful dan Ermil terlebih dahulu sampai dan tak lama kemudian menyusul teman-teman lainnya. Bergegas kami mendirikan tenda, karena sore ini tampaknya mendung berat menggantung. Siang tadi kami dihajar hujan yang cukup deras sewaktu perjalanan dari pos I dan kembali hujan turun sewaktu mendekati Pos III. Satu persatu tenda mulai berdiri, dan keriuhan canda tawa ala basecamp mulai mewarnai suasana sore dan sama-samar semburan jingga sore masih bisa terlihat di balik mendung yang menggantung. Canda tawa Zaidi dengan logat melayu Malaysianya terdengar menimpali canda dari si Yadoet yang di juluki Nhanha sebagai “mahluk liar Tambora”. Kompor-kompor sudah dinyalakan dan semua sibuk dengan tugas masing-masing, ada yang mengiris bumbu dan sayur, ada yang menggoreng dan Bli Ermil yang berasal dari Bali, sibuk memasak nasi sementara bibir nya juga sibuk berkicau dengan logat Balinya yang khas. Nando yang telah membikin gempar orang-orang di sepanjang jalan karena wajah nya mirip sekali dengan Bam Vokalis band Samson, tenyata pintar sekali memasak. Tidak lama kemudian berkat dikerjakan secara keroyokan akhirnya ‘dinner’ kami pun siap disantap.
Malam semakin larut, dan perlahan satu demi satu dari kami mulai masuk kedalam kehangatan sleeping bag masing-masing, masih ada yang bertahan berbincang-bincang dan bercanda, tapi saya sudah lelah sekali, entahlah mungkin karena sehari sebelumnya saya makan bakso dan pedas sekali sehingga membuat saya terkena diare yang cukup parah, dan ini membuat kondisi fisik saya turun drastis. Lemas sekali badan saat mendaki namun pesona Tambora agaknya yang telah memberikan kekuatan tambahan pada saya untuk tetap melangkah. Perlahan obrolan diluat tenda makin lama makin terasa sayup dan akhirnya saya telah terlelap dibuai pelukan malam di Gunung Tambora.
Seperti biasa naluri “Narsis” kami segera kambuh, sudah bisa ditebak kelanjutannya adalah foto-foto, saat itu baru ada saya, Nando, Zaidi dan Ermin yang baru sampai di bibir kawah, jadilah kami berempat mulai sibuk mengarahkan lensa kamera ke berbagai arah, luasnya kaldera Tambora ini tak mampu ditangkap utuh oleh lensa cameraku. Puas berada disini kami mulai melirik puncak yang berada disebelah kanan kami, dan saat melangkah kesana tiba-tiba kabut menutupi seluruh kawah, untung sebelumnya saya dah pernah tahu mendan Tambora ini jadi tidak terlalu susah untuk menemukan jalan setapak ke puncak.
Seperti biasa naluri “Narsis” kami segera kambuh, sudah bisa ditebak kelanjutannya adalah foto-foto, saat itu baru ada saya, Nando, Zaidi dan Ermin yang baru sampai di bibir kawah, jadilah kami berempat mulai sibuk mengarahkan lensa kamera ke berbagai arah, luasnya kaldera Tambora ini tak mampu ditangkap utuh oleh lensa cameraku. Puas berada disini kami mulai melirik puncak yang berada disebelah kanan kami, dan saat melangkah kesana tiba-tiba kabut menutupi seluruh kawah, untung sebelumnya saya dah pernah tahu mendan Tambora ini jadi tidak terlalu susah untuk menemukan jalan setapak ke puncak.
Satu persatu teman-teman kami mulai berdatangan, Fedy dan menyusul Nhanha, Mba Endah, Bang Kamser dan Yadi. Sementara kami yang telah dulu yaitu saya, Zaidi, Nando dan Ermil mengabdikan menyambut mereka dengan hangat. Seperti biasa kehebohan dari masing-masing dalam hal berfoto ria, melebihi para model-model kondang, foto keluarga bersama adalah hal yang wajib dan ditemani oleh spanduk dari para donatur kami yaitu CONSINA dan AVTECH. Bahkan photographer kami yaitu Bang kamser yang membawa peralatan photography yang sangat lengkap dengan tele panjangnya sempat mengabadikan kami yang duluan sampai di puncak dari kejauhan, pasti hasil fotonya bagus sekali. Cukup lama kami menikmati susasana puncak Tambora dan akhirnya tiba waktunya kami kembali turun ke Pos III, dengan diiringi kabut tipis yang mulai merayapi kawasan puncak kamipun mulai melangkah turun. Malam ini kami akan bermalam di Pos III dan besok paginya baru turun ke Pancasila, dan langsung menuju tujuan berikutnya yaitu Pulau Satonda, pulau ini menjadi tersohor juga karena disini terdapat danau air asin satu-satunya didunia (belum ada data lainnya yang membantah anggapan ini). Saya melangkah mengikuti jalan setapak yang membawa turun dari kawasan puncak, dengan membawa kenangan akan pesona si gagah Tambora………
Tidak ada komentar:
Posting Komentar