Rabu, 27 Februari 2008

Sepinya Riak Citarik

“Windy….. hari ini tamunya dikit, kamu ngga usah turun ya….!!!” Teriak pak Hasan yang merupakan field manager perusahaan rafting operator dimana Windy bekerja sebagai river guide. “Biar yang cowok-cowok aja yang turun” lanjut pak Hasan, “baik pak,” jawab Windy dengan sembari mengacungkan jempol kanannya pada pak Hasan yang tengah berdiri di pinggir sungai dekat beberapa perahu karet tertambat. Windy kembali memainkan tangannya pada aliran air sungai Citarik yang mengalir dari batu tempat dia tengah duduk dari seperapat jam yang lalu. Dia begitu mencitai sungai ini dan begitu membencinya juga, Cintanya pada sungai ini yang telah membulatkan tekatnya untuk menekuni profesi river guide dan telah dua tahun dilakukannya. Rasa benci yang akhirnya membuat dia menyukai sungai ini, rasa cinta yang timbul karena seringnya dia merenung diam di sungai ini serta rasa ingin mengalahkan setiap jeramnya. Windy menghela nafas yang tiba-tiba merasa sesak didadanya, dan kembali ingatannya melayang pada kejadian tiga tahun yang lalu.

“Hai, ransel kamu ngga bener tuh makenya, kalo dipakai seperti itu ransel kamu pasti akan menyiksa pinggang dan pundak kamu,” tiba-tiba saja sebuah suara menganggetkannya, saat itu Windy tengah berjuang terseok-seok memanggul ransel 40 liter menapaki jalan setapak rute pendakian Taman Nasional Gede Pangrango di Jawa Barat. Windy dan 4 orang temannya yaitu Luna, Arri dan Lucy melakukan ide mereka naik gunung cewek saja tanpa cowok. Karena menurut Lucy selama ini mereka selalu tergantung sama cowok dan sesekali boleh dong membuktikan kemampuan sisterhood mereka tanpa bantuan cowok, bagi mereka bertiga yang sering naik turun gunung pasti ngga masalah paling bedanya ngga bisa melakukan azaz manfaat dengan menggunakan charming mereka untuk berbagi berat dengan anak cowok. Tapi bagi Windy ini adalah pendakian pertama dia, dan dia ikutpun karena hasil bujukan dari teman se-gang nya ini, dengan dalih memupuk sisterhood akhirnya rayuan tiga konco lengketnya berhasil membuat dia berada di jalan setapak gunung gede dengan beban ransel 40 liter di pundaknya.

“coba sini saya bantu mengeset ulang ransel kamu” lanjut si cowok tadi yang masih ditatap oleh Windy disela nafas nya yang tersengal-sengal. Nih cowok datang dari mana, batin Windy. Dia menoleh kedepan tampak Luna berjarak hanya 100 meter diatas dia dengan ransel merah gede kesayangannya.

“kamu siapa? Mhm haa..mhmm ha..Kok tiba-tiba ada sini..mhmm ha..mhmm ha…? Kamu bukan hantu kan?” tanya Windy disela nafasnya yang tersengal-sengal karena tanjakan yang dilewatinya cukup tajam, memang rute gunung putri terkenal dengan tanjakannya, dari awal pendakian tadi dia mengomel panjang lebar sama ketiga sobatnya yang tega mengajak dia lewat jalur ini.

Cowok yang didepannya tersenyum, senyum pesodent, begitu julukan yang diberikan Windy setiap melihat senyum yang menampakan gigi putih rapi layaknya iklan pasta gigi itu.

“bukan-bukan, tadi aku jalan di belakang kamu kok cukup jauh jarak kita, terus di belokan dekat kali tadi aku sempat lihat kalian dari jauh, karena kalian jalannya ngga begitu cepat akhirnya kesusul sama aku,” jawab cowok itu sembari melepaskan ranselnya yang lumayan gede.

“kamu sendirian?” tanya Windy lagi dia melihat keatas tampak temannya tengah berhenti menunggu dia.

“ngga kok aku bertiga sama temanku yang dua lagi istirahat di kali kecil tadi aku jalan terus aja karena belum begitu capek,” katanya sambil senyum pepsodent, “coba lepasin ransel kamu deh aku setting ulang” pinta dia, Windy melepaskan ranselnya. Si cowok itu lalu memperbaiki sabuk bahu ransel Windy mengencangkan tali-talinya,

“mhmm kendor nih settingannya, ransel kamu bagus nih bisa di setel back systemnya, kalo nyetelnya bener akan lebih enak dibawa” si cowok itu nyerocos dengan istilah yang tidak dimengerti Windy karena dia sibuk memperhatikan wajah cowok yang tengah jongkok didepan ranselnya, wajah nya bersih rambutnya cukup lebat tapi terpotong rapi dan sebuah bandana berwarna merah terikat dikepalanya ala penyanyi Axel Rose dia mengenakan baju kaos warna hitam, dengan celana lapangan katun warna coklat.

Cakep juga selintas kata itu mencuat begitu saja di benak Windy, perawakan cowok ini tidak terlalu besar tapi tapi ransel yang dibawanya melebihi tinggi kepalanya saat disandangnya. Bayangan cowok ini jauh banget dari gambaran pendaki gunung yang biasanya item, gondrong, dan penuh dengan aksesory entah gelang atau kalung.

“tuh dah kelar coba deh kamu pakai,” tiba-tiba suara si cowok itu membuyarkan ketermaguannya.

“eh ii..ya..” jawab Windy sedikit terbata. “nah gimana? Rada enakan kan?” tanya cowok itu begitu ransel sudah menempel di punggung windy, “mhmm iya, enak pas dan stabil” jawab Windy, “tadi itu tali pundak ransel kamu itu buat ukuran tubuh orang yang lebih tinggi dari kamu, jadi aku sesuaikan dengan tubuh kamu. Kalo pake ransel, dasar ransel itu posisinya diatas pantat, sabuk pinggang persis ditulang panggul, jadi kita ngga sakit makenya,” cowok itu nyerocos begitu aja menjelaskan apa yang telah dia kerjakan dan ini sangat menarik perhatian Windy. “oiii windy lama amat sih brentinya cepetan, jangan ngobrol sama orang yang ngga dikenal..!!!!” teriak si tomboy Lucy dari atas tanjakan tempat mereka berhenti. “aku Bimo, nama kamu sapa?” ujar Bimo sambil mengurlurkan tangannya, “Windy” jawab Windy sambil membalas jabatan tangan Bimo yang terasa begitu kukuh. “Namanya bagus, Windy dari kata angin ya?” Windy hanya tersenyum dan kemudian beranjak hendak mulai menyusul teman-temannya, Bimo dengan tergesa-gesa memakai ranselnya dan berjalan mengikuti Windy dari belakang. “Kok ngga nunggu teman kamu?” tanya Windy, “ntar aja di shelter itu” jawab dia sambil menunjuk ketempat dimana ke tiga teman-teman Windy tengah beristirahat.

“Hei.. cowok elo godain temen gue ya…!!” Lucy dengan galaknya menegor Bimo begitu mereka sampe, “ih Lucy dia bantuin benerin ransel gue tadi” tanpa disadari Windy kalimat pembelaan itu menluncur begitu saja dari bibir mungilnya. “wah dibelain ya, ya dah elo selamat kali ini ya” kata Lucy lagi masih tetap galak. “ampuuunnnn…” jawab Bimo sambil menunjukan mimik lucu dan ini kontak membuat pecah tawa teman-teman Windy termasuk juga Windy. Suasana hening hutan gunung gede pagi itu pecah oleh tawa mereka berlima. Bimo kemudian memperkenalkan dirinya pada teman-teman Windy. Dan merekapun larut dalam obrolan yang khas anak-anak pendaki gunung, sesekali Windy terus mengamati Bimo yang menurutnya sangat dewasa cara berbicara dan bersikapnya tapi ngga ngebosenin karena rada kocak juga.

Windy dan teman-temannya melanjutkan perjalanan, sementara Bimo masih menunggu kedua temannya di Shelter tersebut. “kita jalan pelan kok pasti keuber ntar sama kalian” kata Luna pada Bimo saat mereka mulai berjalan, Windy hanya tersenyum dan dibalas oleh Bimo.

Hari masih terbilang pagi, selama menunggu temannya ada beberapa kelompok pendaki yang melewati Bimo. Jalur pendakian dari Gunung Putri ini, terbilang lebih cepat dari pada jalur pendakian dari Cibodas jika hendak mencapai Gunung Gede, tapi kemiringan tanjakannya cukup curam dan membuat nafas para pendaki seperti berburu dengan langkah mereka. Tidak berapa lama kemudian kedua teman Bimo yaitu Teguh dan Lingga sudah datang dan tanpa beristirahat lagi mereka terus mendaki, mereka ingin segera sampai di alun-alun surya kencana yang merupaan lokasi tempat mereka akan menginap malam ini. Angin lembut berhembus menerpa wajah Bimo, “mhhmm sejuk nya angin ini sesejuk wajah Windy” gumam Bimo halus…..”eh lo ngomong apaan Bim?” tanya Lingga karena sepintas mendengar gumaman itu, “ah ngga, anginnya sejuk” jawab Bimo sambil terus melangkah, “Bim, jangan terlalu buru-buru ah, gue kurang tidur nih semalam, pelan dikit, santai aja. Kapan perlu kita istirahat dulu yok laper nih,” Teguh berucap sambil menurunkan ranselnya tanpa menunggu persetujuan kedua temannya terlebih dahulu. “ ah elo brenti mulu sih…” sungut Lingga, “ya udah kita brenti” lerai Bimo, dan akhirnya mereka pun santai lagi menikmati snack dan minuman buah segar yang ada dalam bekal mereka.

Mendekati pos peristirahatan bernama Buntut Lutung, kelompok Bimo menyusul kelompok Windy yang tengah santai istirahat, “tuh kan pasti kesusul, kalian jalannya cepet banget,” ujar Luna, Bimo berhenti sementara kedua temannya terus berjalan, “dah lama berhenti?” tanya Bimo. “ya,…iiiyalah…., masak iya dong…” sahut Lucy yang dengan nada bercanda dan jawaban ini membuat teman-teman Lucy lainnya termasuk Windy tersenyum.

“Bimo ayo…. Lanjut…!!” teriak Teguh dari atas tanjakan, “Ok, aku duluan ya, sampe ketemu di surya kencana” pamit Bimo kepada rombongan Windy dan melirik ke Windy yang tersenyum manis pada dirinya.

“Sapa Bim?” tanya lingga, saat Bimo menyusul mereka, tadi gue kenal dijalan, “gile gerak cepat juga lu.., kayak Kopasus..aja gerak cepat..” gurau Teguh sembari memukul bahu sahabatnya itu. “ya …iyalah.., masak iya dong” jawab Bimo menirukan jawaban gurauan Lucy tadi, dan tawa mereka pecah karena itu.

Surya kencana sore itu cerah sekali masih sekitar jam tiga sore, rombongan Windy bergerak melintasi padang rumput yang banyak ditumbuhi bunga Edelweiis, bunga abadi yang sering disimbolkan sebagai perlambang cinta abadi yang kebetulan memang lagi tengah musimnya. Begitu memasuki kawasan alun-alun ini semerbak wangi edelweiss seakan menyeruak memenuhi indera penciuaman mereka. “duuhhh wanginya…, duhhh indahnya..” Windy yang baru pertama kali merasakan sensasi keindahan alam bebas ini tidak henti-hentinya berucap kagum, “ya iyalah gue ngga bakal ngajak elo ke gunung yang jelek” kata Lucy sembari memeluk bahu sahabatnya ini, “makasih ya kakak….” Jawab Windy dengan nada menggoda. Mendekati daerah alun-alun barat, seseorang pakai jaket biru mendekati mereka, rupanya Bimo datang menyambut mereka ditangannya tampak terjijing satu teko serta gelas plastik, “selamat datang, kalian pasti haus, ini aku bawain teh manis anget, ayo…” ujar Bimo sembari menyodorkan gelas-gelas plastik tersebut pada mereka dan mengisinya dengan teh manis hangat. “aduhhhh.., kamu baik sekali..” kata Arri sambil melirik ke arah Windy. Karena sepanjang jalan pendakian tadi Windy habis digodain oleh teman-temannya karena Windy yang tadinya ngga bersemangat mendaki jadi sangat ingin untuk segera sampai di Surya kencana ini dan penyebabnya agaknya si cowok yang tengah berdiri didepan mereka ini.

“mau lagi?” tanya Bimo pada Windy, saat isi gelas Windy sudah kosong. “ngga makasih” jawab Windy. “Gimana capek ya? Hebat padahal kamu baru pertama kali ya kesini tapi bisa sampe sini jam segini.” Puji Bimo dengan nada yang sunguh-sungguh.

“terang aja ada dopingnya dia” jawab Lucy dengan jahil. Windy hanya tersenyum manis, dan sangat manissss sekali senyum itu dilihat Bimo.

Begitulah semenjak itu hubungan Bimo dan Windy terus belanjut hingga menjadi sepasang kekasih yang sangat saling mencinta, Windypun semakin menyukai kegiatan alam bebas, sering mereka melakukan pendakian bersama, entah berdua saja atau beramai-ramai dengan teman-teman mereka. Bimo yang ternyata romantis dan pintar menulis puisi ini selalu berusaha menyenangkan hati kekasihnya Windy, kepintaran Bimo dalam memasak di gunung juga menjadikan Windy semakin menyukai mendaki gunung dengan kekasihnya ini. Biasanya kalau dia dan teman-temannya camping pasti ngga lain menunya Indomie melulu, tapi dengan Bimo, dia bisa makan sayur asem, goreng tempe balado, dan menu rumahan lainnya. Dan bukan itu saja Bimo sangat ngemong dia, mungkin karena usia mereka cukup terpaut jauh dan ini membuat kedewasaan Bimo merupakan tempat bermanja-manja yang cocok sekali dengan Windy. Semantara bagi Bimo, Windy adalah sosok wanita yang sangat dia puja kelembutan pribadinya tapi keras hati dan tidak menyerah.

Suatu hari setelah setahun hubungan mereka, tepatnya seminggu sebelum valentine, Bimo menelpon Windy mengajaknya untuk ikut rafting dengan teman-teman kantornya. “kan musim hujan Bim” jawab Windy ragu, “tenang aja, debit airnya bagus kok, aku dah cek sama operatornya” hibur suara Bimo diseberang telpon. Dan akhirnya merekapun begabung dengan teman-teman kantor Bimo berarung jeram di sungai Citarik. Perjalanan yang sangat menyengkan itu rupanya harus menghadapi cerita yang pahit.

Pada awal mereka memulai pengarungan, debit air sangat normal dan setelah satu jam pengarungan bencana itu datang, tiba-tiba saja skipper mereka sepertinya pada berusaha untuk menepi, semua ada 8 perahu, tapi yang baru menepi 6 perahu. Perahu yang satu berhasil ditarik oleh tim rescue dengan tali lempar, arus yang tiba-tiba sangat deras menujukan debit air yang naik rupanya tengah terjadi hujan di hulu. Perahu yang ditumpangi oleh windy dan Bimo tidak sempat lagi mendapat tali lempar dan akhirnya harus melewati dua jeram yang tidak bisa dihindarkan lagi, sementara bunyi jeram yang besar itu bergemuruh siap menunggu mereka, dan benar saja saat memasuki jeram perahu tersebut terbalik seluruh penumpangnya tercebut kedalam jeram. Bimo yang sudah menduga hal ini berusaha untuk tidak melepaskan Windy hingga mereka berdua tercebur ke sungai, tali lempar dari tim rescue menyelamatkan mereka, dengan susah payah mereka melawan arus berenang ke pinggir, hanya satu orang yang belum terangkat karena dia terjebak di terjebak di batu dan berpenggangan disana, Bimo melihat ini bermaksud akan kembali menolong temannya itu, “jangan Bim.. please bahaya….” “tenang aja yang, aku kan pegang tali pengaman nih” ujar Bimo sambil menunjukan tali lempar tim rescue, dan kemudian diapun bergegas menceburkan diri ke sungai menolong temannya, dengan sigap dia melilitkan tali tersebut ke badan temannya, namun malang tak dapat di tolak untung tak dapat diraih sebuah lidah air yang cukup kuat merenggut dan menengelamkan mereka berdua, winda mengigit bibir melihat kejadian itu, ujung lain dari tali lempar yang terhubung pada mereka berdua masih dipenggang erat oleh tim rescue dan tampak mengencang, tapi ternayta sosok yang muncul di ujung tali tersebut hanya satu orang, yaitu teman Bimo yang diselamatkan oleh Bimo. Bimo tidak ada. “Bimo…!!!!.., Bimo mana…? Mas… Bimo mana mas..” teriak Windy pada tim rescue yang menarik tali lempar tersebut. Sementara tim rescue yang lainnya berusaha mencari kebeberapa bagian sungai, nihil, tidak ada Bimo menghilang begitu saja ditelan oleh arus sungai citarik yang tengah menggila.

Sudah dua hari tim SAR melakukan penyisiran di lokasi hilangnya Bimo, tapi jenazah Bimo belum juga ditemukan, Windy yang tidak pernah menyerah selalu berada dilokasi menunggu jenazah kekasihnya untuk ditemukan, menginjak hari ketiga tanggal 14 February debit air sudah mulai normal kembali dan sekitar jam 3 sore jenazah Bimo ditemukan berjarak 50 meter dari tempat kejadian, menurut dugaan tim SAR jenazah Bimo yang masih mengenakan pelampung itu kemungkinan tersangkut dalam sebuah hole yang ada di dinding sungai dan karena arus yang kencang sewaktu debit air tinggi membuat jenazah tertahan didalam hole tersebut akibat tekanan dari arus air yang kencang.

Widy tidak bisa menahan kesedihan nya saat menyaksikan jenazah Bimo, tangisnya pun pecah seketika namun dia kemudian teringat betapa Bimo ingin dia selalu kuat menghadapi apapun dalam hidupnya, “Windy sepahit apapun hidup, kita harus kuat meskipun cobaan datang beruntun. Percaya aja Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan umatnya, jadi selalu tabah ya..” tergiang ucapan Bimo yang selalu dia ucapkan manakala Windy terlihat berputus asa menghadapi rintangan dalam hidupnya.

Tidak ada lagi Bimo yang dewasa, yang lucu yang baik yang pinter masak dan selalu siap menawarkan teh manis kesukaan Windy saat mereka nenda di gunung. Citarik telah merenggut kekasihnya tepat didepan matanya. Kejadian itu membuat Windy terobsesi dengan sungai ini, tepat dua bulan setelah kejadian itu Windy mendaftar untuk lowongan sebagai River Guide disalah satu operator Rafting di sungai Citarik dan setelah lulus seleksi akhirnya diapun didik menjadi seorang river guide wanita yang pertama di wilayah itu. Hari demi hari dia jalanin dengan mengarungi jeram demi jeram di sungai itu, kadang seperti terobsesi untuk emngalahkan sungai pembunuh kekasihna itu, pada awalnya kebencian pada sungai ini membuat dia ingin terus menaklukan sungai ini pernah juga dia nekat mengarungi sungai dengan memakai perahu karet canoe saat debit air sedang tinggi, dan dia seperti menantang jeram yang membalikan perahunya dulu, tapi semua itu bisa dia lewati, dan akhirnya kebencian pada sungai ini berubah menjadi rasa suka dan cinta. Begitulah waktu terus berjalan dihari-hari senggangnya sering di merenung di sungai ini mengenang kekasihnya Bimo.

Hari ini sudah dua tahun Bimo tiada, hari ini hari valentine, hari yang sama saat ditemukannya jenazah Bimo, hanya bedanya tahun ini debit air jarang sekali bagus meskipun hujan di hulu tapi debit air tinggi tidak bertahan lama mungkin karena hutan-hutan di hulu sungai sudah banyak yang gundul, akibatnya air lepas begitu saja.

Windy mengeluarkan secarik kertas dari tas kecilnya, kertas ini adalah puisi yang ditulis Bimo untuknya dulu

Windy,
Rindu itu kadang datang bagaikan sembilu
Mengiris dada mendatangkan ngilu
Tapi darah yang keluar semakin menghangatkan cintaku

Windy,
Rindu itu kadang datang bagaikan bayu
Membuai lembut merasuk kalbu
Membuat ku tak mau jauh darimu

Windy,
Aku rindu kamu….


Kekasihmu, Bimo

Puisi itu ditulis Bimo saat dia tengah mendaki gunung Leuser bersama temannya dan sebelum masuk hutan Bimo menyempatkan diri mengirim puisi itu lewat kantor pos bukannya lewat email karena menurutnya tulisan tangan dia akan lebih bisa menyampaikan rasa rindunya. Mata Windy terasa menghangat, ah Bimo… aku juga rindu sekali, batin Windy hatiku sepi Bimo sesepi riak Citarik hari ini.

"Windyyy…………ada tamu.. nyariin elo.. “ teriak Susi petugas frontdesk dari seberang sungai. Teriakan itu membangunkan Windy dari lamunannya. “Ya.!!” Sahut Windy sambil memasukan kembali secarik kertas itu dan menyeka matanya yang merebak basah. Bergegas dia meloncati batu kecil menuju tepian sungai dan menuju front desk, rupanya disana ada Luna, Anggi dan Lucy. “hey angin apa yang membawa kalian kesini,” ujar Windy setengah berteriak dan segera menghambur memeluk ketiga sahabatnya itu. “ya angin kangen lah sama elo masak angin badai” jawab Lucy masih dengan gaya khasnya, “Windy met valentine ya, kita ngga mau elo sedih dihari ini makanya kita datang” Anggi tersenyum saat mengucapkan kata-kata itu. “makasih ya” jawab Windy dan kembali matanya basah oleh genangan air mata. Terima kasih Tuhan kau telah memberikan sahabat-sahabat yang baik pada diriku.

Sementara riak Citarik terus mengalir bagai hidup yang terus bergulir. “Bimo selamat hari valentine ya” gumam Windy pelan sembari mengikuti ketiga sahabatnya menuju pinggiran sungai Citarik untuk duduk mengobrol bersama.



(cerita ini hanyalah fiksi belaka jika ada kesamaan nama dan tempat atau cerita dengan kejadian nyata itu hanyalah kebetulan saja)

Sabtu, 23 Februari 2008

Mengunjungi Gunung para Raja dan Putri


Pesawat Adam Air yang saya tumpangi bersama Tammy teman semilis di highcamp mendarat mulus di Bandara Tabing Padang. Hari masih pagi, sekitar jam 08.00, kami berdua langsung menuju Minang Plaza sebuah shooping mall di kota Padang karena kami berdua akan janjian bertemu dengan dua orang anggota tim perjalanan pendakian kali ini yaitu Kang Ronny dari milis highcamp Bandung dan Lastri dari milis highcamp Batam. Kami berempat akan mendaki Gunung Talamau yang merupakan gunung tertinggi di Sumatera Barat. Gunung mempunyai banyak keistimewaan baik dari objek wisata alamnya maupun cerita mitos yang dipunyainya membuat gunung ini sedikit berbeda dengan gunung lainnya di Indonesia. Dipuncak gunung ini kita bisa menemukan 13 telaga dan juga sebuah air terjun besar yang berada di pinggang gunung ini. Nama-nama telaga yang ada dipuncak ini pun juga diberi nama dengan nama-nama putri kerajaan Minang Kabau dahulu kala yang berkaitan dengan sejarah daerah Pasaman.

Setelah cukup lama menugu akhirnya berturut-turut Kang Ronny, Lastri muncul, dengan bantuan dari moderator milis highcamp Padang, Maryulis Max akhirnya kami mendapatkan mobil carteran langsung menuju Pasaman tepatnya menuju Desa Pinaga dimana titik awal pendakian dimulai. setelah 4 jam mengedarai mobil, sekitar jam 16.15 kami sampai di Desa Pinaga, desa ini terletak di jalan raya yang menghubungkan Panti dan Simpang Empat. Karena masih sore kami tidak ingin membuang waktu segera kami mulai perjalanan pendakian menuju Pos II Harimau Campo, tempat dimana kami akan mendirikan tenda dan bermalam. Medan pendakian dari Desa Pinaga hingga Pos II merupakan daerah perladangan penduduk. Gunung Talamau ini memang tidak begitu tinggi, ketinggiannya hanya 2912m dpl. Akan tetapi pendakian dimulai dari ketinggian 287m dpl yaitu Desa Pinaga. Sehingga membuat gunung ini punya tantangan tersendiri untuk didaki. cukup lama kami mendaki dan sekitar jam 18.30 sore akhirnya kami sampai di Pos II Pondok Harimau Campo. Tidak ada siapa-siapa disana, segera tenda didirikan, ternyata di pos ini tidak ada sumber air, sedangkan air terjun Puti Lenggo Geni terletak sedikit jauh turun kearah lembah. akhirnya kami memutuskan untuk tidak memasak makan malam, kami hanya memakan roti dan segera tidur karena badan cukup letih usai perjalanan. Saya sebelum tidur menyempatkan diri untuk mengirimkan email pada milis highcamp yang melaporkan perkembangan perjalanan kami. Kebetulan di Pos II ini sinyal HP masih bagus sehingga memungkinkan saya untuk melakukan koneksi ke Internet.

Pagi harinya Kang Ronny pergi turun mengambil air, dan setelah memasak nasi dan makan dengan lauk rendang yang dibeli oleh Kang Ronny di Simpang Empat kemaren kami pun mulai mendaki menuju puncak Talamau. Hari ini target kami adalah sampai Pos IV yaitu Pos Bumi Sarasah. Saya telah siap dengan gaiter anti pacet yang saya sengaja pesan khusus pada Mas Iwan Reptil dan juga dikantong celana saya telah siap "Pacet Repelent" sebuah hasil pemikiran inovatif berupa sebuah botol spray berisikan air sabun deterjen yang nantinya akan disemprotkan pada setiap pacet yang hinggap di kaki agar mudah membuangnya.

Benar saja saat kami meninggalkan kawasan Harimau Campo, mulailah para mahluk kecil penghisap darah itu menjalar dikaki kami, sesekali terdengar ceritan kecil Lastri dan Tammy yang geli karena para pacet mulai mengerayangi mereka, sementara saya tetap anteng melangkah karena kaki saya telah terlindung oleh gaiter yang menutup rapat kaki hingga dengkul, dan sesekali saya semprotkan "Pacet Repelent" pada pacet yang mulai mencoba naik hingga diatas dengkul saya, dan merekapun berguguran terkena air mengandung deterjen tersebut. Jalan setapak menuju Pos III Rindu Alam. terasa panjang dan berputar-putar, medannya masih mendatar dan sesekali ada tanjakan curam. Gunung Talamau ini memang gunung yang jarang sekali didaki, ini terlihat dari jalan setapak yang terkadang sudah tertutup oleh pohon kecil atau semak belukar. Sekitar jam 13.00 siang akhirnya kami sampai di Pos III dan kamipun mengisi perbekalan air di pos ini. setelah berhenti sejenak sembari makan snack siang perjalanan dilanjutkan, untuk mencapai Pos IV Bumi Sarasah. Keadaan jalan setapak mulai mendaki curam dan lebih parah lagi jalan setapak yang sering tiba-tiba menghilang, sehingga membuat kami extra hati-hati saat melewati jalan setapak yang tidak begitu jelas atau sudah tersamar pohon rubuh, daun kayu serta semak belukar. Saat kami tengah bergelut dengan tanjakan curam, tiba-tiba pohon seperti bergoyang dan tanahpun bergoyang kencang, rupanya ada gempa saya berusaha mengamati sekeliling takut jika ada pohon yang tumbang. beberapa kali terjadi gempa selama kami mendaki melewati medan pendakian menuju Pos IV ini. Bahkan sewaktu kami nenda di Pos IV malam hari serta pagi harinya pun terjadi gempa. Dihati kami bertanya-tanya apakah gempa tresebut telah menimbulkan tsunami lagi di bumi Sumatera ini?? Mudah-mudahan tidak.

Saat menjelang pos IV Kang Ronny yang berjalan paling depan berteriak kalau jalan setapaknya hilang dan buntu, nah..lho...!!! kamipun berusaha mengurut lagi jalan setapak yang sebelumnya kami lewati, akhirnya ketemu juga jalan yang benar, jalan tersebut telah tertutup oleh kayu, dan semak belukar sedangkan jalan buntu yang telah ditempuh Kang Ronny tadi rupanya jalan setapak binatang yang mirip jalan setapak pendakian. Sekitar jam 18.30 sore kamipun sampai di Pos Bumi Sarasah, segera kami dirikan tenda dan mengganti baju yang telah basah kuyup oleh keringat. Saya merasa sedikit tidak enak badan rupanya saya masuk angin gara-gara baju yang basah kuyup oleh keringat dan telat menggantinya. Akhirnya saya tidur saja dan rencana untuk masak makan malam yang enakpun terpaksa tidak jadi saya lakukan karena saya harus sedikit tidur agar kondisi saya fit, setelah makan indomie telor lengkap dengan sayur bikinan Tammy saya pun terlelap dalam sleeping bag.

Pagi saya terbangun saat mendengar semilir air sungai dekat Pos IV ini, badan saya terasa segar setelah tidur lelap semalam. Segera saya menebus janji buat teman-teman dengan memasakan mereka nasi goreng sosis, setelah matang nasi goreng tersebut langsung ludes kami lahap bersama, dan tidak mau membuang waktu kamipun segera packing peralatan dan bersiap kembali melanjutkan pendakian. Dari peta sketsa yang disediakan oleh Daniel Zulekha, kuncen gunung ini, kami mengetahui bahwa medan didepan kami yang menuju Pos V Pondok Paninjauan sangat terjal dan benar saja saat kami meninggalkan daerah Bumi Sarasah tanjakan-tanjakan terjal berkisar 70 - 80 derajat menghadang kami bahkan tak jarang ada tanjaakan yang tegak lurus 90 derajat. Ransel 100 liter yang saya bawa terasa semakin berat, dalam hati nyesel juga bawa ransel segede lemari ini. Keadaan vegetasi di mendan ini mulai rendah dan pemandangan kebawah mulai jelas terlihat berupa daerah Pasaman dan pantai barat Sumatera.

Tanjakan semakin curam ditambah lagi dengan banyaknya onak berduri dan tumbuhan perdu yang menghalangi jalan, ini membuat susah untuk melangkah karena tersangkut pada ransel dan pakaian. setelah cukup lama bergulat dengan medan tersebut akhirnya sampai juga di Pos V Pondok Paninjauan. Keadaan Pos ini sangat bersih dan terawat. Di pos ini terdapat sumber air, kami berhenti disini untuk makan siang, kang Ronny yang telah sampai dari tadi telah menyiapkan alat masaknya, rupanya dia sudah tak tahan dengan perutnya yang sudah mulai berteriak agar segera di isi. Sambil menunggu makanan masak saya sempatkan juga untuk mengecek email dari teman-teman milis, dan beberapa SMS masuk yang isinya mencemaskan keadaan kami karena adanya gempa..., terima kasih teman...., atas perhatiannya..... ingin membalas semua sms tersebut tapi berhubung batery HP mulai menipis terpaksa niat tersebut diurungkan. Akhirnya makanan yang ditunggu siap juga untuk disantap, kamipun makan indomie telur yang dicampur sayuran tersebut dengan lahap agar energi yang terkuras tadi segera mendapatkan gantinya.

Selepas Pos V Pondok Paninjauan, keadaan jalan setapak makin terjal dengan tumbuhan perdu yang tidak begitu tinggi di kiri kanan jalan. Akan tetapi semua itu terobati dengan pemandangan lepas yang bisa dilayangkan kearah Pasaman dan pantai barat Sumatera. Ada jalan setapaknya yang menyusuri sungai kecil yang berair jernih, beberapa kali saya minum langsung dari air sungai yang berasa sangat segar ini. Itulah enaknya naik Gunung Talamau selain pemandangan yang indah, kita juga tidak takut kehabisan persediaan air.

Tak lama kemudian kami sampai juga di penghujung tanjakan terjal tersebut, dan jalan setapaknya kemudian agak membelok kekiri tapi kembali semak dan onak berduri serta tumbuhan perdu yang menutupinya membuat susah bergerak karena selalu menempel pada ransel dan baju. Setelah menerobos medan jalan setapak ini, jalan mulai mendatar dan terakhir setelah menyeberangi sebuah sungai kecil yang kering, akhirnya kami sampai di Padang Sirimanjaro. Ada sebuah papan nama yang bertuliskan nama padang ini yaitu "Sirimanjaro" dan menurut kepercayaan penduduk setempat pandang yang luasnya 20 hektar ini dijaga oleh seorang kiyai (baca: Jin Islam), dan setiap pendaki yang memasuki tempat ini harus mengucapkan "Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh". Jika tidak, sang Kiyai akan tidak senang, dan menurut cerita dari sang Kuncen Gunung ini yaitu Bang Daniel, pernah ada pendaki yang ditegor langsung oleh kiyai ini karena tidak mengucapkan salam tersebut, tentu kiyai tersebut muncul dengan dibumbui kejadian mistis yang tidak bisa diterima oleh akal. Padang Siranjano juga merupakan rumah dari banyak binatang, seperti rusa, tapir, Kambing,babi hutan dan lain-lain. Tanahnya berlumut dan berair menunjukan kadar air yang tinggi didaerah ini, jika kita edarkan pandangan kesebelah Utara tampak megah berdiri puncak Gunung Talamau yang bernama Puncak Trimartha (2912m dpl). Menurun kearah kiri dari puncak Tri Martha ada sebuah puncak yang disebut dengan Puncak Putri Nawang Surau permaisuri dari Rajo Imbang Langik. Rajo Imbang Langik adalah raja daerah Pasaman dahulu kalanya dan puncak Gunung Pasaman dikenal juga dengan nama raja ini. Gunung Talamau tegak berjejer dengan dua gunung lainnya yaitu Gunung Ophir dan Gunung Pasaman. Gunung Pasaman adalah yang kedua tertinggi dan di ikuti kemudian oleh Gunung Ophir.

Kira-kira 5 menit berjalan kami menemukan telaga pertama yang cukup dalam dan curam dengan lebar kurang lebih seperempat hektar. Telaga ini bernama Telaga Siuntuang Sudah. Dan tidak jauh dari telaga ini berjarak sekitar 5 meter ada sebuah telaga kecil bernama Telaga biru. Bagaikan lupa daratan kami berempat asyik dengan mengabadikan keindahan daerah puncak Gunung Talamau ini. Belum habis rasa takjub kami kembali sebuah pemandangan indah menyergap mata, yaitu sebuah telaga besar berair tenang dan jernih. Telaga ini bernama Telaga Putri Sangka Bulan, luasnya kira-kira satu hektar. Ditengah-tengah telaga terdapat sebuah batu kecil mirip sebuah pulau. Menurut hikayat cerita penduduk setempat, Putri Sangka Bulan adalah seorang putri yang berasal dari sebuah kerajaan dilereng Gunung Marapi, kemudian dia pindah dan berjalan kaki kearah Pasaman. Sampai didaerah Lubuk Asam tepatnya didesa Jambat, dia berhenti beristirahat didekat sebuah sungai yang tenang yang dalam bahasa setempat disebut juga dengan lubuk. Dia beristirahat sembari memakan sirih, kebetulan sewaktu menyiapkan sirihnya jatuhlah sekeping kapur sirihnya kedalam sungai (lubuk) tersebut, maka diapun bergumam "Lah Jatuah kedalam lubuak sakapiang" yang artinya telah jatuh kedalam lubuk sekeping, maka jadilah daerah tersebut dikenal dan kemudian bernama Lubuk Sikaping, yang kemudian menjadi ibukota Pasaman. Kemudian sang putri meneruskan perjalanannya menuju puncak gunung Pasaman dan bersemayam disana. Karena di puncak gunung Pasaman tidak ada air, maka diapun sering mengunjungi puncak Gunung Talamau untuk mandi si sebuah telaga. Telaga tempat mandinya tersebutlah yang kemudian diberi nama sesuai namanya yaitu Telaga Putri Sangka Bulan. Dan menurut kepercayaan penduduk setempat juga jika mandi (bukan berenang karena sekarang sudah dilarang berenang disana) air telaga Putri Sangka Bulan ini akan awet muda..., benar atau tidak hanya tuhan yang tahu.

Kami mencari tempat untuk lokasi tenda, akhirnya kami memutuskan untuk mendirikan tenda diantara telaga-telaga tersebut Saat satu tenda berdiri, tiba-tiba kang Ronny kontak lewat HT dia mengatakan ada lokasi yang jauh lebih bagus yaitu tepatnya persis dipinggir Telaga Putri Sangka Bulan ditepi sebelah barat, akhirnya kami pindah kesana dan benar saja, jarak lokasi tenda kami ketepi telaga hanya berjarak 5 meter. Setelah tenda berdiri, saya menyempatkan diri untuk santai sejenak menikmati suasana indahnya Telaga ini, dan takala senja jatuh diatas telaga, keindahan telaga ini semakin memukau pantas saja Putri Sangka Bulan menjadikan telaga ini sebagai tepian mandinya. dan menurut cerita legenda penduduk setempat juga, pada waktu-waktu tertentu turun putri-putri untuk mandi di telaga ini. Wah.... kapankah waktu itu..???? kalau seandainya sore ini ada putri yang mandi.., waduh.... asyik juga nih nonton putri mandi...heheheheheh..., pikiran saya mulai melantur dan sebelum jauh melantur paggilan Tammy menanyakan masalah masak apa malam ini pun membuyarkan lamunan saya.

Setelah kemaren malam gagal acara masaknya gara-gara saya masuk angin di Pondok Bumi Sarasah, maka malam ini saya tebus dengan memasak, goreng tempe balado, perkedel kornet, sayur tumis buncis dan Kol, ditambah lauk opor ayam. Dan kemudian kamipun asyik makan malam dengan lahapnya, sementara senja semakin jatuh diatas telaga dan langitpun semakin merona merah dan jingga. Lambat-laun gelapun mulai menyelimuti daerah puncak Talamau. Beruntung kami hari ini, angin yang biasanya bertiup kencang didaerah puncak ini, tapi hari ini tenang sekali seolah para putri yang bersemayam dipuncak ini merestui kehadiran kami disini. Saat malam semakin beranjak, kamipun mulai masuk bergelung kedalam sleeping bag masing-masing, dan sayapun mulai memejamkan mata tapi dibenak ini masih bemain-main cerita tentang Putri Sangka Bulan. Mudah-mudahan sang Putri tidak suka mandi malam, soalnya saya sudah terlanjur masuk kedalam kehangatan sleeping bag, masak sih harus keluar untuk menyaksikan dia mandi...hehehehehehehe..... Dan tak lama kamipun tenggelam dibuai mimpi masing-masing.....

Kang Ronny yang tidur satu tenda dengan saya sudah membangunkan kami, rupanya tidur saya lelap sekali tadi malam karena seakan malam terasa pendek sekali tahu-tahu sudah pagi. Kami segera mempersiapkan diri untuk melakukan pendakian ke puncak, karena persiapan barang-barang yang akan dibawa sudah dilakukan dari semalam, maka tidak begitu lama kemudian langkah kaki kami sudah menapaki jalur pendakian menuju puncak. Tidak lama berjalan disebelah kanan jalan setapak ada lagi sebuah telaga yang tertutup oleh tumbuhan yang lebat dipinggirnya, Telaga ini kemudian saya ketahui namanya dari Bang Daniel dengan nama Telaga Dewa.

Dari Telaga Dewa kita bisa memandang lepas ke jejeran gunung-gunung yang ada di Ranah Minang ini, pagi hari ini sangat cerah dan tampak jelas berdiri berjejer Gunung Talang, Gunung Marapi, Gunung Singgalang dan Gunung Tandikek. Pagi ini tampak Gunung Marapi mengeluarkan asapnya. Setelah mengambil beberapa photo dan merekam suasana dengan handycam saya melanjutkan pendakian menyusul ketiga sobat yang sudfah duluan. Jalur pendian mendekati puncak cukup curam bahkan ada yang tegak lurus 90 derajat, banyak batu-batu besar yang membuat kami harus meloncat dari satu batu kebatu lain. Tepat jam 06.30 pagi kami sampai di puncak Trimartha, puncak tertinggi Gunung Talamau. Segera pemandangan indah dari puncak menyergap mata kami, kembali kami mengarahkan camera ke perbagai penjuru untuk mengabadikan pagi yang indah ini dari atap Ranah Minang. Tiang penunjuk ketinggian di puncak ini sudah hancur dan digantikan oleh sebatang besi yang ditancapkan dan diatasnya ada sebuah kubah mesjid kecil. Belakangan kami tahu rupanya yang memasang besi dan kubah kecil mesjid itu adalah Bang Daniel sendiri.

Ada 9 telaga yang bisa dilihat dari puncak, selain itu kami juga bisa melihat beberapa puncak lainnya yaitu, Puncak Rajo Imbang Langik, Puncak Rajo Dewa, Puncak Bukit berbunga, Dan Puncak Rajo di Batuang. Tentu nama-nama puncak tersebut tidak saya ketahui sebelumnya, dan setelah bercerita dengan Bang Daniel baru detail nama-nama puncak gunung Talamau bisa saya ketahui. Saat di puncak saya menyempatkan diri untuk posting di ke milis highcamp, sementara Kang Ronny, Tammy dan Lastri mengunjungi Puncak Rajo Imbang Langik dan Puncak Rajo Dewa. Sementara GPS menunjukan posisi saya berada pada 00° 04' 43.2" LU 099° 59' 02.1" BT dan berada pada ketinggian 2920m dpl (sedikit menyimpang dari ketinggian sebenarnya 2912m dpl ini adalah hal yang biasa pada GPS).

Dari kemaren kami saya tahu berita Gn. Talang meletus dari milis highcamp dan juga dari SMS teman-teman tapi pagi ini saya lihat puncak Gunung Talang tampak tenang dan tidak asap secuilpun di puncaknya. Lambat laun matahari mulai meninggi dan sekitar jam 07.30 kami turun kembali menuju basecamp kami di pinggir Telaga Putri Sangka Bulan. Di basecamp kami mulai menyiapkan makan pagi sebelum turun, ini perlu sekali mengingat medan yang akan ditempuh cukup jauh dan turunannya terjal. Saat makan sengaja saya memilih duduk dipinggir telaga sembari berharap rusa yang saya lihat kemaren muncul lagi, kemaren sore sewaktu berdiri di telaga ini saya melihat rusa yang akan minum tapi sebelum sempat saya photo atau rekam dengan handycam dia sudah keburu kabur. Rusa tersebut kecil tubuhnya mirip kancil dan buntutnya berwarna putih bergaris hitam. Sampai nasi di piring saya habis, sang rusa tidak muncul lagi. Setelah selesai makan dan packing kami mulai bergerak meninggalkan tepian Telaga Putri Sangka Bulan, berat hati meninggalkan keindahan kawasan telaga ini, namun kami harus segera turun karena hari sudah semakin siang, mudah-mudahan nanti kami tidak kemalaman dijalan dan sampai di Pos II harimau Campo sebelum hari gelap.

Serwaktu turun kembali kami bergelut dengan semak dan onak berdiri yang memenuhi jalur hingga sampai ke Pos Paninjanuan. Jarak yang jauh dari satu pos ke pos yang lain cukup membuat BT ditambah lagi dengan serangan pacet. Tapi rupannya dibandingkan kemaren ketiga teman saya lebih kalem karena pacet sudah tidak berani menyerang mereka, rupanya mereka telah menemukan resep anti pacet yang manjur yaitu apa yang mereka sebut dengan "Cream Anti Pacet" rupanya cream tersebut adalah sabun cair yang langsung dioleskan pada kaki tanpa memakai air. Jadi para pacet ogah mendekati kaki mereka...MMhmm... sangat kreatif, sedangkan saya tetap mengandalkan "gaiter anti pacet" dan "pacet repelent" yang memang sudah teruji sewaktu mendaki kemaren. Hari semakin siang pos Bumi sarasah pun telah dilewati, sementara ransel 100 liter di punggung mulai terasa semakin berat, padahal isinya sudah jauh berkurang. Beberapa kali kami terduduk jatuh karena jalur yang curam dan licin dan ditambah lagi banyaknya pohon yang menghalangi jalan. Sangat menyiksa sekali karena harus membungkuk kadang merangkak tapi masih saja ransel tersangkut, sementara sang pacet terus mengintai terus untuk mendapat kesempatan menempel pada tubuh kami. Kehilangan jalan setapakpun cukup sering kami alami, tapi setelah hati-hati lagi melihat string line dan memperhatikan jalan akhirnya kami bertemu lagi dengan jalan setapak yang benar. Memang sewaktu turun lebih mudah kesasar di banding sewaktu naik, ini dikarenakan juga karena faktor fisik yang sudah kecapean sehingga terkadang kewaspadaan jadi berkurang. Sewaktu mendekati daerah bukit Hariamu Campo, kami menemukan jejak kaki harimau yang masih baru. Cukup besar, Tammy menyempatkan diri untuk memotretnya, saat itu jarum jam sudah menunjukan pukul 17.05 sudah sore dan sebentar lagi gelap, kami harus buru-buru mencapai pondok Harimau Campo agar tidak kemalaman dijalan.

Tepat saat gelap menjelang sekitar jam 18.15 kami sampai juga di Pos II Pondok Harimau Campo, rupanya sang pemilik pondok yaitu Bang Daniel ada disana, dan kami berkenalan dan ngobrol sebentar, obrolan saya terhenti karena harus mendirikan tenda. Dan setelah tenda berdiri sembari ngobrol saya memasak makan malam, bahan bakar sudah menipis. Jadilah kami memasak secukupnya, sementara obrolan denan Bang Daniel semakin asyik apalagi Ronny, hingga saya, Lastri dan Tammy masuk tenda Kang Ronny berdua dengan Bang Daniel masih mengobrol, saya masih terjaga saat hujan turun dan setelah itu saya sudah terlelap dibuai suara titik hujan yang jatuh di atas tenda.

Pagi harinya saya terbangun dan rupanya Kang Ronny tidak tidur di tenda semalam tapi di Pondok bersama Bang Daniel, sembari menyiapkan sarapan kami kembali ngobrol dengan Bang Daniel, mengenai gunung Talamau dan juga mengenai pengalaman masing-masing. Sosok Bang Daniel ini sepertinya susah untuk dicari duanya, dia adalah seorang putra daerah yang benar-benar mengabdikan hidupnya pada kegiatan pendakian gunung khususnya Gunung Talamau, pria sederhana berumur sekitar 40 tahun ini, sudah mendaki sebanyak 31 gunung di Indonesia dan semua itu dilakukannya dengan cara bersepeda dan akhirnya berjalan kaki keliling Indonesia, tapi yang membuat saya angkat topi adalah dedikasinya pada gunung Talamau ini, dia lah yang membangun setiap pos pada jalur pendakian Talamau ini. Seorang diri dia membangunnya, berhari-hari dia habiskan waktunya untuk membangun pos-pos tersebut seorang diri dengan modal sendiri, dan juga setiap rambu-rambu penunjuk jalan juga dia bawa sendiri dan pasang sendiri. Memang dia saat ini adalah tenaga honorer dari Dinas Pariwisata Sumbar, akan tetapi uang honornyapun lebih banyak terpakai untuk mejaga jalur Talamau ini. Bahkan dia juga seorang diri merintis dan membangun jalur turun ke Gunung Pasaman, menurut ceritanya selama 18 hari dia di hutan untuk merampungkan jalur turun dan membangun pos di Gunung Pasaman. Dan terakhir dia juga sudah membuat jalur lain dari Desa Malapah Pasaman Timur, kembali dia lakukan seorang diri dan modal sendiri. Aturan pendakian gunung Talamau pun dia buat sendiri dengan mengadopsi beberapa aturan pendakian gunung yang ada di beberapa daerah di Indonesia. Kadang dia naik ke Talamau seorang diri untuk membersihkan jalur dan memungut sampah jika ada, tapi dari pengamatan kami selama 4 hari di Talamau, gunung ini bebas sampah. Bahkan penduduk setempat angkat topi, ada seorang bapak di desa Pinaga mengatakan, belum pernah dia melihat orang yang mampu melakukan seperti yang dilakukan oleh Bang Daniel. Bang Daniel hanya mengatakan dirinya seorang pecinta alam, dan memang dari dedikasinya selama ini dia layak menyandang sebutan tersebut, tidak hanya sebutan sebagai gagah-gagahan.

Tak terasa hari semakin siang, kami buru-buru packing dan harus segara turun menuju desa Pinaga dan langsung berangkat menuju kota Bukittinggi. Sewaktu akan turun Bang Daniel menolak uang restribusi yang kami bayarkan, kamipun bingung. Dia bilang melihat sampah yang kami bawa turun hingga ke Hariamu Campo saja sudah cukup buat dia. Sekarang menurut dia uang restribusi tidak diwajibkan karena PEMDA sendiri tidak mewajibkannya, jadi dia tidak mewajibkan para pendaki untuk membayarnya. "hitung-hitung membantu sesama pendaki" begitu katanya dengan logat Minang yang kental. Tapi kami tetap memaksa karena merasa telah merepotkan Bang Daniel, dengan berat hati akhirnya dia menerimanya kemudian dia memberikan buku cerita perjalanan dia selama keliling Indonsia dan juga VCD tentang Gunung Talamau dan Gunung Pasaman yang dia buat sendiri. Setelah berfoto bersama dan saling berjabat tangan kamipun segera turun, selama diperjalanan kembali saya ngobrol dengan Bang Daniel dengan memakai HT. Macam-macam yang kami obrolkan, rupanya dia sangat suka "ngebreak". Hingga perjalanan yang cukup jauh ke Desa Pinaga tidak begitu terasa karena saya ditemani obrolan dengan Bang Daniel.

Didesa pinaga kami menumpang istirahat di rumah penduduk dipinggir jalan, dan mandi di sungai yang berair jernih.., ahhh.... seger sekali setelah 4 hari tidak mandi bau nadan ini sudah seratus rupa....., sejuknya air sungai memulihkan kesegaran badan. Sekitar jam 13.00 kami sudah berada di kendaraan menuju kota Simpang Ampek dan selanjutnya menuju Bukittinggi, tapi ternyata sampai di Simpang Ampek mobil yang ke Bukittinggi telah berangkat. Rupanya mobil terakhir yang berangkat ke Bukittinggi hanya sampai jam 13.00 siang, sekarang tinggal satu mobil di terminal itupun tujuan ke Pekan Baru, lalu sopirnya bilang bisa naik sampai ke Bukittinggi tapi jika ada penumpang yang ke Pekan Baru naik di Jalan kami harus mengalah dan duduk di bangku serep. Ya... ngga apa-apalah pikir kami dari pada buang waktu satu hari lagi disini. Sekitar jam 16.00 mobilpun berangkat, kami melewati Danau Maninjau dan singgah berhenti makan disini. Danau yang terkenal di manca negara ini tampak berkabut sore itu. Namun sayang "Kelok 44" yang terkenal itu kami lewati saat hari sudah gelap jadi pemandangan Danau Maninjau tidak bisa kami nikmati. Sekitar jam 20.30 kami sampai di kota Bukittinggi, babak pertama perjalan kami telah berakhir dan selanjutnya menunggu Lembah Harau untuk di explore.........