Rabu, 27 Februari 2008

Sepinya Riak Citarik

“Windy….. hari ini tamunya dikit, kamu ngga usah turun ya….!!!” Teriak pak Hasan yang merupakan field manager perusahaan rafting operator dimana Windy bekerja sebagai river guide. “Biar yang cowok-cowok aja yang turun” lanjut pak Hasan, “baik pak,” jawab Windy dengan sembari mengacungkan jempol kanannya pada pak Hasan yang tengah berdiri di pinggir sungai dekat beberapa perahu karet tertambat. Windy kembali memainkan tangannya pada aliran air sungai Citarik yang mengalir dari batu tempat dia tengah duduk dari seperapat jam yang lalu. Dia begitu mencitai sungai ini dan begitu membencinya juga, Cintanya pada sungai ini yang telah membulatkan tekatnya untuk menekuni profesi river guide dan telah dua tahun dilakukannya. Rasa benci yang akhirnya membuat dia menyukai sungai ini, rasa cinta yang timbul karena seringnya dia merenung diam di sungai ini serta rasa ingin mengalahkan setiap jeramnya. Windy menghela nafas yang tiba-tiba merasa sesak didadanya, dan kembali ingatannya melayang pada kejadian tiga tahun yang lalu.

“Hai, ransel kamu ngga bener tuh makenya, kalo dipakai seperti itu ransel kamu pasti akan menyiksa pinggang dan pundak kamu,” tiba-tiba saja sebuah suara menganggetkannya, saat itu Windy tengah berjuang terseok-seok memanggul ransel 40 liter menapaki jalan setapak rute pendakian Taman Nasional Gede Pangrango di Jawa Barat. Windy dan 4 orang temannya yaitu Luna, Arri dan Lucy melakukan ide mereka naik gunung cewek saja tanpa cowok. Karena menurut Lucy selama ini mereka selalu tergantung sama cowok dan sesekali boleh dong membuktikan kemampuan sisterhood mereka tanpa bantuan cowok, bagi mereka bertiga yang sering naik turun gunung pasti ngga masalah paling bedanya ngga bisa melakukan azaz manfaat dengan menggunakan charming mereka untuk berbagi berat dengan anak cowok. Tapi bagi Windy ini adalah pendakian pertama dia, dan dia ikutpun karena hasil bujukan dari teman se-gang nya ini, dengan dalih memupuk sisterhood akhirnya rayuan tiga konco lengketnya berhasil membuat dia berada di jalan setapak gunung gede dengan beban ransel 40 liter di pundaknya.

“coba sini saya bantu mengeset ulang ransel kamu” lanjut si cowok tadi yang masih ditatap oleh Windy disela nafas nya yang tersengal-sengal. Nih cowok datang dari mana, batin Windy. Dia menoleh kedepan tampak Luna berjarak hanya 100 meter diatas dia dengan ransel merah gede kesayangannya.

“kamu siapa? Mhm haa..mhmm ha..Kok tiba-tiba ada sini..mhmm ha..mhmm ha…? Kamu bukan hantu kan?” tanya Windy disela nafasnya yang tersengal-sengal karena tanjakan yang dilewatinya cukup tajam, memang rute gunung putri terkenal dengan tanjakannya, dari awal pendakian tadi dia mengomel panjang lebar sama ketiga sobatnya yang tega mengajak dia lewat jalur ini.

Cowok yang didepannya tersenyum, senyum pesodent, begitu julukan yang diberikan Windy setiap melihat senyum yang menampakan gigi putih rapi layaknya iklan pasta gigi itu.

“bukan-bukan, tadi aku jalan di belakang kamu kok cukup jauh jarak kita, terus di belokan dekat kali tadi aku sempat lihat kalian dari jauh, karena kalian jalannya ngga begitu cepat akhirnya kesusul sama aku,” jawab cowok itu sembari melepaskan ranselnya yang lumayan gede.

“kamu sendirian?” tanya Windy lagi dia melihat keatas tampak temannya tengah berhenti menunggu dia.

“ngga kok aku bertiga sama temanku yang dua lagi istirahat di kali kecil tadi aku jalan terus aja karena belum begitu capek,” katanya sambil senyum pepsodent, “coba lepasin ransel kamu deh aku setting ulang” pinta dia, Windy melepaskan ranselnya. Si cowok itu lalu memperbaiki sabuk bahu ransel Windy mengencangkan tali-talinya,

“mhmm kendor nih settingannya, ransel kamu bagus nih bisa di setel back systemnya, kalo nyetelnya bener akan lebih enak dibawa” si cowok itu nyerocos dengan istilah yang tidak dimengerti Windy karena dia sibuk memperhatikan wajah cowok yang tengah jongkok didepan ranselnya, wajah nya bersih rambutnya cukup lebat tapi terpotong rapi dan sebuah bandana berwarna merah terikat dikepalanya ala penyanyi Axel Rose dia mengenakan baju kaos warna hitam, dengan celana lapangan katun warna coklat.

Cakep juga selintas kata itu mencuat begitu saja di benak Windy, perawakan cowok ini tidak terlalu besar tapi tapi ransel yang dibawanya melebihi tinggi kepalanya saat disandangnya. Bayangan cowok ini jauh banget dari gambaran pendaki gunung yang biasanya item, gondrong, dan penuh dengan aksesory entah gelang atau kalung.

“tuh dah kelar coba deh kamu pakai,” tiba-tiba suara si cowok itu membuyarkan ketermaguannya.

“eh ii..ya..” jawab Windy sedikit terbata. “nah gimana? Rada enakan kan?” tanya cowok itu begitu ransel sudah menempel di punggung windy, “mhmm iya, enak pas dan stabil” jawab Windy, “tadi itu tali pundak ransel kamu itu buat ukuran tubuh orang yang lebih tinggi dari kamu, jadi aku sesuaikan dengan tubuh kamu. Kalo pake ransel, dasar ransel itu posisinya diatas pantat, sabuk pinggang persis ditulang panggul, jadi kita ngga sakit makenya,” cowok itu nyerocos begitu aja menjelaskan apa yang telah dia kerjakan dan ini sangat menarik perhatian Windy. “oiii windy lama amat sih brentinya cepetan, jangan ngobrol sama orang yang ngga dikenal..!!!!” teriak si tomboy Lucy dari atas tanjakan tempat mereka berhenti. “aku Bimo, nama kamu sapa?” ujar Bimo sambil mengurlurkan tangannya, “Windy” jawab Windy sambil membalas jabatan tangan Bimo yang terasa begitu kukuh. “Namanya bagus, Windy dari kata angin ya?” Windy hanya tersenyum dan kemudian beranjak hendak mulai menyusul teman-temannya, Bimo dengan tergesa-gesa memakai ranselnya dan berjalan mengikuti Windy dari belakang. “Kok ngga nunggu teman kamu?” tanya Windy, “ntar aja di shelter itu” jawab dia sambil menunjuk ketempat dimana ke tiga teman-teman Windy tengah beristirahat.

“Hei.. cowok elo godain temen gue ya…!!” Lucy dengan galaknya menegor Bimo begitu mereka sampe, “ih Lucy dia bantuin benerin ransel gue tadi” tanpa disadari Windy kalimat pembelaan itu menluncur begitu saja dari bibir mungilnya. “wah dibelain ya, ya dah elo selamat kali ini ya” kata Lucy lagi masih tetap galak. “ampuuunnnn…” jawab Bimo sambil menunjukan mimik lucu dan ini kontak membuat pecah tawa teman-teman Windy termasuk juga Windy. Suasana hening hutan gunung gede pagi itu pecah oleh tawa mereka berlima. Bimo kemudian memperkenalkan dirinya pada teman-teman Windy. Dan merekapun larut dalam obrolan yang khas anak-anak pendaki gunung, sesekali Windy terus mengamati Bimo yang menurutnya sangat dewasa cara berbicara dan bersikapnya tapi ngga ngebosenin karena rada kocak juga.

Windy dan teman-temannya melanjutkan perjalanan, sementara Bimo masih menunggu kedua temannya di Shelter tersebut. “kita jalan pelan kok pasti keuber ntar sama kalian” kata Luna pada Bimo saat mereka mulai berjalan, Windy hanya tersenyum dan dibalas oleh Bimo.

Hari masih terbilang pagi, selama menunggu temannya ada beberapa kelompok pendaki yang melewati Bimo. Jalur pendakian dari Gunung Putri ini, terbilang lebih cepat dari pada jalur pendakian dari Cibodas jika hendak mencapai Gunung Gede, tapi kemiringan tanjakannya cukup curam dan membuat nafas para pendaki seperti berburu dengan langkah mereka. Tidak berapa lama kemudian kedua teman Bimo yaitu Teguh dan Lingga sudah datang dan tanpa beristirahat lagi mereka terus mendaki, mereka ingin segera sampai di alun-alun surya kencana yang merupaan lokasi tempat mereka akan menginap malam ini. Angin lembut berhembus menerpa wajah Bimo, “mhhmm sejuk nya angin ini sesejuk wajah Windy” gumam Bimo halus…..”eh lo ngomong apaan Bim?” tanya Lingga karena sepintas mendengar gumaman itu, “ah ngga, anginnya sejuk” jawab Bimo sambil terus melangkah, “Bim, jangan terlalu buru-buru ah, gue kurang tidur nih semalam, pelan dikit, santai aja. Kapan perlu kita istirahat dulu yok laper nih,” Teguh berucap sambil menurunkan ranselnya tanpa menunggu persetujuan kedua temannya terlebih dahulu. “ ah elo brenti mulu sih…” sungut Lingga, “ya udah kita brenti” lerai Bimo, dan akhirnya mereka pun santai lagi menikmati snack dan minuman buah segar yang ada dalam bekal mereka.

Mendekati pos peristirahatan bernama Buntut Lutung, kelompok Bimo menyusul kelompok Windy yang tengah santai istirahat, “tuh kan pasti kesusul, kalian jalannya cepet banget,” ujar Luna, Bimo berhenti sementara kedua temannya terus berjalan, “dah lama berhenti?” tanya Bimo. “ya,…iiiyalah…., masak iya dong…” sahut Lucy yang dengan nada bercanda dan jawaban ini membuat teman-teman Lucy lainnya termasuk Windy tersenyum.

“Bimo ayo…. Lanjut…!!” teriak Teguh dari atas tanjakan, “Ok, aku duluan ya, sampe ketemu di surya kencana” pamit Bimo kepada rombongan Windy dan melirik ke Windy yang tersenyum manis pada dirinya.

“Sapa Bim?” tanya lingga, saat Bimo menyusul mereka, tadi gue kenal dijalan, “gile gerak cepat juga lu.., kayak Kopasus..aja gerak cepat..” gurau Teguh sembari memukul bahu sahabatnya itu. “ya …iyalah.., masak iya dong” jawab Bimo menirukan jawaban gurauan Lucy tadi, dan tawa mereka pecah karena itu.

Surya kencana sore itu cerah sekali masih sekitar jam tiga sore, rombongan Windy bergerak melintasi padang rumput yang banyak ditumbuhi bunga Edelweiis, bunga abadi yang sering disimbolkan sebagai perlambang cinta abadi yang kebetulan memang lagi tengah musimnya. Begitu memasuki kawasan alun-alun ini semerbak wangi edelweiss seakan menyeruak memenuhi indera penciuaman mereka. “duuhhh wanginya…, duhhh indahnya..” Windy yang baru pertama kali merasakan sensasi keindahan alam bebas ini tidak henti-hentinya berucap kagum, “ya iyalah gue ngga bakal ngajak elo ke gunung yang jelek” kata Lucy sembari memeluk bahu sahabatnya ini, “makasih ya kakak….” Jawab Windy dengan nada menggoda. Mendekati daerah alun-alun barat, seseorang pakai jaket biru mendekati mereka, rupanya Bimo datang menyambut mereka ditangannya tampak terjijing satu teko serta gelas plastik, “selamat datang, kalian pasti haus, ini aku bawain teh manis anget, ayo…” ujar Bimo sembari menyodorkan gelas-gelas plastik tersebut pada mereka dan mengisinya dengan teh manis hangat. “aduhhhh.., kamu baik sekali..” kata Arri sambil melirik ke arah Windy. Karena sepanjang jalan pendakian tadi Windy habis digodain oleh teman-temannya karena Windy yang tadinya ngga bersemangat mendaki jadi sangat ingin untuk segera sampai di Surya kencana ini dan penyebabnya agaknya si cowok yang tengah berdiri didepan mereka ini.

“mau lagi?” tanya Bimo pada Windy, saat isi gelas Windy sudah kosong. “ngga makasih” jawab Windy. “Gimana capek ya? Hebat padahal kamu baru pertama kali ya kesini tapi bisa sampe sini jam segini.” Puji Bimo dengan nada yang sunguh-sungguh.

“terang aja ada dopingnya dia” jawab Lucy dengan jahil. Windy hanya tersenyum manis, dan sangat manissss sekali senyum itu dilihat Bimo.

Begitulah semenjak itu hubungan Bimo dan Windy terus belanjut hingga menjadi sepasang kekasih yang sangat saling mencinta, Windypun semakin menyukai kegiatan alam bebas, sering mereka melakukan pendakian bersama, entah berdua saja atau beramai-ramai dengan teman-teman mereka. Bimo yang ternyata romantis dan pintar menulis puisi ini selalu berusaha menyenangkan hati kekasihnya Windy, kepintaran Bimo dalam memasak di gunung juga menjadikan Windy semakin menyukai mendaki gunung dengan kekasihnya ini. Biasanya kalau dia dan teman-temannya camping pasti ngga lain menunya Indomie melulu, tapi dengan Bimo, dia bisa makan sayur asem, goreng tempe balado, dan menu rumahan lainnya. Dan bukan itu saja Bimo sangat ngemong dia, mungkin karena usia mereka cukup terpaut jauh dan ini membuat kedewasaan Bimo merupakan tempat bermanja-manja yang cocok sekali dengan Windy. Semantara bagi Bimo, Windy adalah sosok wanita yang sangat dia puja kelembutan pribadinya tapi keras hati dan tidak menyerah.

Suatu hari setelah setahun hubungan mereka, tepatnya seminggu sebelum valentine, Bimo menelpon Windy mengajaknya untuk ikut rafting dengan teman-teman kantornya. “kan musim hujan Bim” jawab Windy ragu, “tenang aja, debit airnya bagus kok, aku dah cek sama operatornya” hibur suara Bimo diseberang telpon. Dan akhirnya merekapun begabung dengan teman-teman kantor Bimo berarung jeram di sungai Citarik. Perjalanan yang sangat menyengkan itu rupanya harus menghadapi cerita yang pahit.

Pada awal mereka memulai pengarungan, debit air sangat normal dan setelah satu jam pengarungan bencana itu datang, tiba-tiba saja skipper mereka sepertinya pada berusaha untuk menepi, semua ada 8 perahu, tapi yang baru menepi 6 perahu. Perahu yang satu berhasil ditarik oleh tim rescue dengan tali lempar, arus yang tiba-tiba sangat deras menujukan debit air yang naik rupanya tengah terjadi hujan di hulu. Perahu yang ditumpangi oleh windy dan Bimo tidak sempat lagi mendapat tali lempar dan akhirnya harus melewati dua jeram yang tidak bisa dihindarkan lagi, sementara bunyi jeram yang besar itu bergemuruh siap menunggu mereka, dan benar saja saat memasuki jeram perahu tersebut terbalik seluruh penumpangnya tercebut kedalam jeram. Bimo yang sudah menduga hal ini berusaha untuk tidak melepaskan Windy hingga mereka berdua tercebur ke sungai, tali lempar dari tim rescue menyelamatkan mereka, dengan susah payah mereka melawan arus berenang ke pinggir, hanya satu orang yang belum terangkat karena dia terjebak di terjebak di batu dan berpenggangan disana, Bimo melihat ini bermaksud akan kembali menolong temannya itu, “jangan Bim.. please bahaya….” “tenang aja yang, aku kan pegang tali pengaman nih” ujar Bimo sambil menunjukan tali lempar tim rescue, dan kemudian diapun bergegas menceburkan diri ke sungai menolong temannya, dengan sigap dia melilitkan tali tersebut ke badan temannya, namun malang tak dapat di tolak untung tak dapat diraih sebuah lidah air yang cukup kuat merenggut dan menengelamkan mereka berdua, winda mengigit bibir melihat kejadian itu, ujung lain dari tali lempar yang terhubung pada mereka berdua masih dipenggang erat oleh tim rescue dan tampak mengencang, tapi ternayta sosok yang muncul di ujung tali tersebut hanya satu orang, yaitu teman Bimo yang diselamatkan oleh Bimo. Bimo tidak ada. “Bimo…!!!!.., Bimo mana…? Mas… Bimo mana mas..” teriak Windy pada tim rescue yang menarik tali lempar tersebut. Sementara tim rescue yang lainnya berusaha mencari kebeberapa bagian sungai, nihil, tidak ada Bimo menghilang begitu saja ditelan oleh arus sungai citarik yang tengah menggila.

Sudah dua hari tim SAR melakukan penyisiran di lokasi hilangnya Bimo, tapi jenazah Bimo belum juga ditemukan, Windy yang tidak pernah menyerah selalu berada dilokasi menunggu jenazah kekasihnya untuk ditemukan, menginjak hari ketiga tanggal 14 February debit air sudah mulai normal kembali dan sekitar jam 3 sore jenazah Bimo ditemukan berjarak 50 meter dari tempat kejadian, menurut dugaan tim SAR jenazah Bimo yang masih mengenakan pelampung itu kemungkinan tersangkut dalam sebuah hole yang ada di dinding sungai dan karena arus yang kencang sewaktu debit air tinggi membuat jenazah tertahan didalam hole tersebut akibat tekanan dari arus air yang kencang.

Widy tidak bisa menahan kesedihan nya saat menyaksikan jenazah Bimo, tangisnya pun pecah seketika namun dia kemudian teringat betapa Bimo ingin dia selalu kuat menghadapi apapun dalam hidupnya, “Windy sepahit apapun hidup, kita harus kuat meskipun cobaan datang beruntun. Percaya aja Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan umatnya, jadi selalu tabah ya..” tergiang ucapan Bimo yang selalu dia ucapkan manakala Windy terlihat berputus asa menghadapi rintangan dalam hidupnya.

Tidak ada lagi Bimo yang dewasa, yang lucu yang baik yang pinter masak dan selalu siap menawarkan teh manis kesukaan Windy saat mereka nenda di gunung. Citarik telah merenggut kekasihnya tepat didepan matanya. Kejadian itu membuat Windy terobsesi dengan sungai ini, tepat dua bulan setelah kejadian itu Windy mendaftar untuk lowongan sebagai River Guide disalah satu operator Rafting di sungai Citarik dan setelah lulus seleksi akhirnya diapun didik menjadi seorang river guide wanita yang pertama di wilayah itu. Hari demi hari dia jalanin dengan mengarungi jeram demi jeram di sungai itu, kadang seperti terobsesi untuk emngalahkan sungai pembunuh kekasihna itu, pada awalnya kebencian pada sungai ini membuat dia ingin terus menaklukan sungai ini pernah juga dia nekat mengarungi sungai dengan memakai perahu karet canoe saat debit air sedang tinggi, dan dia seperti menantang jeram yang membalikan perahunya dulu, tapi semua itu bisa dia lewati, dan akhirnya kebencian pada sungai ini berubah menjadi rasa suka dan cinta. Begitulah waktu terus berjalan dihari-hari senggangnya sering di merenung di sungai ini mengenang kekasihnya Bimo.

Hari ini sudah dua tahun Bimo tiada, hari ini hari valentine, hari yang sama saat ditemukannya jenazah Bimo, hanya bedanya tahun ini debit air jarang sekali bagus meskipun hujan di hulu tapi debit air tinggi tidak bertahan lama mungkin karena hutan-hutan di hulu sungai sudah banyak yang gundul, akibatnya air lepas begitu saja.

Windy mengeluarkan secarik kertas dari tas kecilnya, kertas ini adalah puisi yang ditulis Bimo untuknya dulu

Windy,
Rindu itu kadang datang bagaikan sembilu
Mengiris dada mendatangkan ngilu
Tapi darah yang keluar semakin menghangatkan cintaku

Windy,
Rindu itu kadang datang bagaikan bayu
Membuai lembut merasuk kalbu
Membuat ku tak mau jauh darimu

Windy,
Aku rindu kamu….


Kekasihmu, Bimo

Puisi itu ditulis Bimo saat dia tengah mendaki gunung Leuser bersama temannya dan sebelum masuk hutan Bimo menyempatkan diri mengirim puisi itu lewat kantor pos bukannya lewat email karena menurutnya tulisan tangan dia akan lebih bisa menyampaikan rasa rindunya. Mata Windy terasa menghangat, ah Bimo… aku juga rindu sekali, batin Windy hatiku sepi Bimo sesepi riak Citarik hari ini.

"Windyyy…………ada tamu.. nyariin elo.. “ teriak Susi petugas frontdesk dari seberang sungai. Teriakan itu membangunkan Windy dari lamunannya. “Ya.!!” Sahut Windy sambil memasukan kembali secarik kertas itu dan menyeka matanya yang merebak basah. Bergegas dia meloncati batu kecil menuju tepian sungai dan menuju front desk, rupanya disana ada Luna, Anggi dan Lucy. “hey angin apa yang membawa kalian kesini,” ujar Windy setengah berteriak dan segera menghambur memeluk ketiga sahabatnya itu. “ya angin kangen lah sama elo masak angin badai” jawab Lucy masih dengan gaya khasnya, “Windy met valentine ya, kita ngga mau elo sedih dihari ini makanya kita datang” Anggi tersenyum saat mengucapkan kata-kata itu. “makasih ya” jawab Windy dan kembali matanya basah oleh genangan air mata. Terima kasih Tuhan kau telah memberikan sahabat-sahabat yang baik pada diriku.

Sementara riak Citarik terus mengalir bagai hidup yang terus bergulir. “Bimo selamat hari valentine ya” gumam Windy pelan sembari mengikuti ketiga sahabatnya menuju pinggiran sungai Citarik untuk duduk mengobrol bersama.



(cerita ini hanyalah fiksi belaka jika ada kesamaan nama dan tempat atau cerita dengan kejadian nyata itu hanyalah kebetulan saja)

Sabtu, 23 Februari 2008

Mengunjungi Gunung para Raja dan Putri


Pesawat Adam Air yang saya tumpangi bersama Tammy teman semilis di highcamp mendarat mulus di Bandara Tabing Padang. Hari masih pagi, sekitar jam 08.00, kami berdua langsung menuju Minang Plaza sebuah shooping mall di kota Padang karena kami berdua akan janjian bertemu dengan dua orang anggota tim perjalanan pendakian kali ini yaitu Kang Ronny dari milis highcamp Bandung dan Lastri dari milis highcamp Batam. Kami berempat akan mendaki Gunung Talamau yang merupakan gunung tertinggi di Sumatera Barat. Gunung mempunyai banyak keistimewaan baik dari objek wisata alamnya maupun cerita mitos yang dipunyainya membuat gunung ini sedikit berbeda dengan gunung lainnya di Indonesia. Dipuncak gunung ini kita bisa menemukan 13 telaga dan juga sebuah air terjun besar yang berada di pinggang gunung ini. Nama-nama telaga yang ada dipuncak ini pun juga diberi nama dengan nama-nama putri kerajaan Minang Kabau dahulu kala yang berkaitan dengan sejarah daerah Pasaman.

Setelah cukup lama menugu akhirnya berturut-turut Kang Ronny, Lastri muncul, dengan bantuan dari moderator milis highcamp Padang, Maryulis Max akhirnya kami mendapatkan mobil carteran langsung menuju Pasaman tepatnya menuju Desa Pinaga dimana titik awal pendakian dimulai. setelah 4 jam mengedarai mobil, sekitar jam 16.15 kami sampai di Desa Pinaga, desa ini terletak di jalan raya yang menghubungkan Panti dan Simpang Empat. Karena masih sore kami tidak ingin membuang waktu segera kami mulai perjalanan pendakian menuju Pos II Harimau Campo, tempat dimana kami akan mendirikan tenda dan bermalam. Medan pendakian dari Desa Pinaga hingga Pos II merupakan daerah perladangan penduduk. Gunung Talamau ini memang tidak begitu tinggi, ketinggiannya hanya 2912m dpl. Akan tetapi pendakian dimulai dari ketinggian 287m dpl yaitu Desa Pinaga. Sehingga membuat gunung ini punya tantangan tersendiri untuk didaki. cukup lama kami mendaki dan sekitar jam 18.30 sore akhirnya kami sampai di Pos II Pondok Harimau Campo. Tidak ada siapa-siapa disana, segera tenda didirikan, ternyata di pos ini tidak ada sumber air, sedangkan air terjun Puti Lenggo Geni terletak sedikit jauh turun kearah lembah. akhirnya kami memutuskan untuk tidak memasak makan malam, kami hanya memakan roti dan segera tidur karena badan cukup letih usai perjalanan. Saya sebelum tidur menyempatkan diri untuk mengirimkan email pada milis highcamp yang melaporkan perkembangan perjalanan kami. Kebetulan di Pos II ini sinyal HP masih bagus sehingga memungkinkan saya untuk melakukan koneksi ke Internet.

Pagi harinya Kang Ronny pergi turun mengambil air, dan setelah memasak nasi dan makan dengan lauk rendang yang dibeli oleh Kang Ronny di Simpang Empat kemaren kami pun mulai mendaki menuju puncak Talamau. Hari ini target kami adalah sampai Pos IV yaitu Pos Bumi Sarasah. Saya telah siap dengan gaiter anti pacet yang saya sengaja pesan khusus pada Mas Iwan Reptil dan juga dikantong celana saya telah siap "Pacet Repelent" sebuah hasil pemikiran inovatif berupa sebuah botol spray berisikan air sabun deterjen yang nantinya akan disemprotkan pada setiap pacet yang hinggap di kaki agar mudah membuangnya.

Benar saja saat kami meninggalkan kawasan Harimau Campo, mulailah para mahluk kecil penghisap darah itu menjalar dikaki kami, sesekali terdengar ceritan kecil Lastri dan Tammy yang geli karena para pacet mulai mengerayangi mereka, sementara saya tetap anteng melangkah karena kaki saya telah terlindung oleh gaiter yang menutup rapat kaki hingga dengkul, dan sesekali saya semprotkan "Pacet Repelent" pada pacet yang mulai mencoba naik hingga diatas dengkul saya, dan merekapun berguguran terkena air mengandung deterjen tersebut. Jalan setapak menuju Pos III Rindu Alam. terasa panjang dan berputar-putar, medannya masih mendatar dan sesekali ada tanjakan curam. Gunung Talamau ini memang gunung yang jarang sekali didaki, ini terlihat dari jalan setapak yang terkadang sudah tertutup oleh pohon kecil atau semak belukar. Sekitar jam 13.00 siang akhirnya kami sampai di Pos III dan kamipun mengisi perbekalan air di pos ini. setelah berhenti sejenak sembari makan snack siang perjalanan dilanjutkan, untuk mencapai Pos IV Bumi Sarasah. Keadaan jalan setapak mulai mendaki curam dan lebih parah lagi jalan setapak yang sering tiba-tiba menghilang, sehingga membuat kami extra hati-hati saat melewati jalan setapak yang tidak begitu jelas atau sudah tersamar pohon rubuh, daun kayu serta semak belukar. Saat kami tengah bergelut dengan tanjakan curam, tiba-tiba pohon seperti bergoyang dan tanahpun bergoyang kencang, rupanya ada gempa saya berusaha mengamati sekeliling takut jika ada pohon yang tumbang. beberapa kali terjadi gempa selama kami mendaki melewati medan pendakian menuju Pos IV ini. Bahkan sewaktu kami nenda di Pos IV malam hari serta pagi harinya pun terjadi gempa. Dihati kami bertanya-tanya apakah gempa tresebut telah menimbulkan tsunami lagi di bumi Sumatera ini?? Mudah-mudahan tidak.

Saat menjelang pos IV Kang Ronny yang berjalan paling depan berteriak kalau jalan setapaknya hilang dan buntu, nah..lho...!!! kamipun berusaha mengurut lagi jalan setapak yang sebelumnya kami lewati, akhirnya ketemu juga jalan yang benar, jalan tersebut telah tertutup oleh kayu, dan semak belukar sedangkan jalan buntu yang telah ditempuh Kang Ronny tadi rupanya jalan setapak binatang yang mirip jalan setapak pendakian. Sekitar jam 18.30 sore kamipun sampai di Pos Bumi Sarasah, segera kami dirikan tenda dan mengganti baju yang telah basah kuyup oleh keringat. Saya merasa sedikit tidak enak badan rupanya saya masuk angin gara-gara baju yang basah kuyup oleh keringat dan telat menggantinya. Akhirnya saya tidur saja dan rencana untuk masak makan malam yang enakpun terpaksa tidak jadi saya lakukan karena saya harus sedikit tidur agar kondisi saya fit, setelah makan indomie telor lengkap dengan sayur bikinan Tammy saya pun terlelap dalam sleeping bag.

Pagi saya terbangun saat mendengar semilir air sungai dekat Pos IV ini, badan saya terasa segar setelah tidur lelap semalam. Segera saya menebus janji buat teman-teman dengan memasakan mereka nasi goreng sosis, setelah matang nasi goreng tersebut langsung ludes kami lahap bersama, dan tidak mau membuang waktu kamipun segera packing peralatan dan bersiap kembali melanjutkan pendakian. Dari peta sketsa yang disediakan oleh Daniel Zulekha, kuncen gunung ini, kami mengetahui bahwa medan didepan kami yang menuju Pos V Pondok Paninjauan sangat terjal dan benar saja saat kami meninggalkan daerah Bumi Sarasah tanjakan-tanjakan terjal berkisar 70 - 80 derajat menghadang kami bahkan tak jarang ada tanjaakan yang tegak lurus 90 derajat. Ransel 100 liter yang saya bawa terasa semakin berat, dalam hati nyesel juga bawa ransel segede lemari ini. Keadaan vegetasi di mendan ini mulai rendah dan pemandangan kebawah mulai jelas terlihat berupa daerah Pasaman dan pantai barat Sumatera.

Tanjakan semakin curam ditambah lagi dengan banyaknya onak berduri dan tumbuhan perdu yang menghalangi jalan, ini membuat susah untuk melangkah karena tersangkut pada ransel dan pakaian. setelah cukup lama bergulat dengan medan tersebut akhirnya sampai juga di Pos V Pondok Paninjauan. Keadaan Pos ini sangat bersih dan terawat. Di pos ini terdapat sumber air, kami berhenti disini untuk makan siang, kang Ronny yang telah sampai dari tadi telah menyiapkan alat masaknya, rupanya dia sudah tak tahan dengan perutnya yang sudah mulai berteriak agar segera di isi. Sambil menunggu makanan masak saya sempatkan juga untuk mengecek email dari teman-teman milis, dan beberapa SMS masuk yang isinya mencemaskan keadaan kami karena adanya gempa..., terima kasih teman...., atas perhatiannya..... ingin membalas semua sms tersebut tapi berhubung batery HP mulai menipis terpaksa niat tersebut diurungkan. Akhirnya makanan yang ditunggu siap juga untuk disantap, kamipun makan indomie telur yang dicampur sayuran tersebut dengan lahap agar energi yang terkuras tadi segera mendapatkan gantinya.

Selepas Pos V Pondok Paninjauan, keadaan jalan setapak makin terjal dengan tumbuhan perdu yang tidak begitu tinggi di kiri kanan jalan. Akan tetapi semua itu terobati dengan pemandangan lepas yang bisa dilayangkan kearah Pasaman dan pantai barat Sumatera. Ada jalan setapaknya yang menyusuri sungai kecil yang berair jernih, beberapa kali saya minum langsung dari air sungai yang berasa sangat segar ini. Itulah enaknya naik Gunung Talamau selain pemandangan yang indah, kita juga tidak takut kehabisan persediaan air.

Tak lama kemudian kami sampai juga di penghujung tanjakan terjal tersebut, dan jalan setapaknya kemudian agak membelok kekiri tapi kembali semak dan onak berduri serta tumbuhan perdu yang menutupinya membuat susah bergerak karena selalu menempel pada ransel dan baju. Setelah menerobos medan jalan setapak ini, jalan mulai mendatar dan terakhir setelah menyeberangi sebuah sungai kecil yang kering, akhirnya kami sampai di Padang Sirimanjaro. Ada sebuah papan nama yang bertuliskan nama padang ini yaitu "Sirimanjaro" dan menurut kepercayaan penduduk setempat pandang yang luasnya 20 hektar ini dijaga oleh seorang kiyai (baca: Jin Islam), dan setiap pendaki yang memasuki tempat ini harus mengucapkan "Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh". Jika tidak, sang Kiyai akan tidak senang, dan menurut cerita dari sang Kuncen Gunung ini yaitu Bang Daniel, pernah ada pendaki yang ditegor langsung oleh kiyai ini karena tidak mengucapkan salam tersebut, tentu kiyai tersebut muncul dengan dibumbui kejadian mistis yang tidak bisa diterima oleh akal. Padang Siranjano juga merupakan rumah dari banyak binatang, seperti rusa, tapir, Kambing,babi hutan dan lain-lain. Tanahnya berlumut dan berair menunjukan kadar air yang tinggi didaerah ini, jika kita edarkan pandangan kesebelah Utara tampak megah berdiri puncak Gunung Talamau yang bernama Puncak Trimartha (2912m dpl). Menurun kearah kiri dari puncak Tri Martha ada sebuah puncak yang disebut dengan Puncak Putri Nawang Surau permaisuri dari Rajo Imbang Langik. Rajo Imbang Langik adalah raja daerah Pasaman dahulu kalanya dan puncak Gunung Pasaman dikenal juga dengan nama raja ini. Gunung Talamau tegak berjejer dengan dua gunung lainnya yaitu Gunung Ophir dan Gunung Pasaman. Gunung Pasaman adalah yang kedua tertinggi dan di ikuti kemudian oleh Gunung Ophir.

Kira-kira 5 menit berjalan kami menemukan telaga pertama yang cukup dalam dan curam dengan lebar kurang lebih seperempat hektar. Telaga ini bernama Telaga Siuntuang Sudah. Dan tidak jauh dari telaga ini berjarak sekitar 5 meter ada sebuah telaga kecil bernama Telaga biru. Bagaikan lupa daratan kami berempat asyik dengan mengabadikan keindahan daerah puncak Gunung Talamau ini. Belum habis rasa takjub kami kembali sebuah pemandangan indah menyergap mata, yaitu sebuah telaga besar berair tenang dan jernih. Telaga ini bernama Telaga Putri Sangka Bulan, luasnya kira-kira satu hektar. Ditengah-tengah telaga terdapat sebuah batu kecil mirip sebuah pulau. Menurut hikayat cerita penduduk setempat, Putri Sangka Bulan adalah seorang putri yang berasal dari sebuah kerajaan dilereng Gunung Marapi, kemudian dia pindah dan berjalan kaki kearah Pasaman. Sampai didaerah Lubuk Asam tepatnya didesa Jambat, dia berhenti beristirahat didekat sebuah sungai yang tenang yang dalam bahasa setempat disebut juga dengan lubuk. Dia beristirahat sembari memakan sirih, kebetulan sewaktu menyiapkan sirihnya jatuhlah sekeping kapur sirihnya kedalam sungai (lubuk) tersebut, maka diapun bergumam "Lah Jatuah kedalam lubuak sakapiang" yang artinya telah jatuh kedalam lubuk sekeping, maka jadilah daerah tersebut dikenal dan kemudian bernama Lubuk Sikaping, yang kemudian menjadi ibukota Pasaman. Kemudian sang putri meneruskan perjalanannya menuju puncak gunung Pasaman dan bersemayam disana. Karena di puncak gunung Pasaman tidak ada air, maka diapun sering mengunjungi puncak Gunung Talamau untuk mandi si sebuah telaga. Telaga tempat mandinya tersebutlah yang kemudian diberi nama sesuai namanya yaitu Telaga Putri Sangka Bulan. Dan menurut kepercayaan penduduk setempat juga jika mandi (bukan berenang karena sekarang sudah dilarang berenang disana) air telaga Putri Sangka Bulan ini akan awet muda..., benar atau tidak hanya tuhan yang tahu.

Kami mencari tempat untuk lokasi tenda, akhirnya kami memutuskan untuk mendirikan tenda diantara telaga-telaga tersebut Saat satu tenda berdiri, tiba-tiba kang Ronny kontak lewat HT dia mengatakan ada lokasi yang jauh lebih bagus yaitu tepatnya persis dipinggir Telaga Putri Sangka Bulan ditepi sebelah barat, akhirnya kami pindah kesana dan benar saja, jarak lokasi tenda kami ketepi telaga hanya berjarak 5 meter. Setelah tenda berdiri, saya menyempatkan diri untuk santai sejenak menikmati suasana indahnya Telaga ini, dan takala senja jatuh diatas telaga, keindahan telaga ini semakin memukau pantas saja Putri Sangka Bulan menjadikan telaga ini sebagai tepian mandinya. dan menurut cerita legenda penduduk setempat juga, pada waktu-waktu tertentu turun putri-putri untuk mandi di telaga ini. Wah.... kapankah waktu itu..???? kalau seandainya sore ini ada putri yang mandi.., waduh.... asyik juga nih nonton putri mandi...heheheheheh..., pikiran saya mulai melantur dan sebelum jauh melantur paggilan Tammy menanyakan masalah masak apa malam ini pun membuyarkan lamunan saya.

Setelah kemaren malam gagal acara masaknya gara-gara saya masuk angin di Pondok Bumi Sarasah, maka malam ini saya tebus dengan memasak, goreng tempe balado, perkedel kornet, sayur tumis buncis dan Kol, ditambah lauk opor ayam. Dan kemudian kamipun asyik makan malam dengan lahapnya, sementara senja semakin jatuh diatas telaga dan langitpun semakin merona merah dan jingga. Lambat-laun gelapun mulai menyelimuti daerah puncak Talamau. Beruntung kami hari ini, angin yang biasanya bertiup kencang didaerah puncak ini, tapi hari ini tenang sekali seolah para putri yang bersemayam dipuncak ini merestui kehadiran kami disini. Saat malam semakin beranjak, kamipun mulai masuk bergelung kedalam sleeping bag masing-masing, dan sayapun mulai memejamkan mata tapi dibenak ini masih bemain-main cerita tentang Putri Sangka Bulan. Mudah-mudahan sang Putri tidak suka mandi malam, soalnya saya sudah terlanjur masuk kedalam kehangatan sleeping bag, masak sih harus keluar untuk menyaksikan dia mandi...hehehehehehehe..... Dan tak lama kamipun tenggelam dibuai mimpi masing-masing.....

Kang Ronny yang tidur satu tenda dengan saya sudah membangunkan kami, rupanya tidur saya lelap sekali tadi malam karena seakan malam terasa pendek sekali tahu-tahu sudah pagi. Kami segera mempersiapkan diri untuk melakukan pendakian ke puncak, karena persiapan barang-barang yang akan dibawa sudah dilakukan dari semalam, maka tidak begitu lama kemudian langkah kaki kami sudah menapaki jalur pendakian menuju puncak. Tidak lama berjalan disebelah kanan jalan setapak ada lagi sebuah telaga yang tertutup oleh tumbuhan yang lebat dipinggirnya, Telaga ini kemudian saya ketahui namanya dari Bang Daniel dengan nama Telaga Dewa.

Dari Telaga Dewa kita bisa memandang lepas ke jejeran gunung-gunung yang ada di Ranah Minang ini, pagi hari ini sangat cerah dan tampak jelas berdiri berjejer Gunung Talang, Gunung Marapi, Gunung Singgalang dan Gunung Tandikek. Pagi ini tampak Gunung Marapi mengeluarkan asapnya. Setelah mengambil beberapa photo dan merekam suasana dengan handycam saya melanjutkan pendakian menyusul ketiga sobat yang sudfah duluan. Jalur pendian mendekati puncak cukup curam bahkan ada yang tegak lurus 90 derajat, banyak batu-batu besar yang membuat kami harus meloncat dari satu batu kebatu lain. Tepat jam 06.30 pagi kami sampai di puncak Trimartha, puncak tertinggi Gunung Talamau. Segera pemandangan indah dari puncak menyergap mata kami, kembali kami mengarahkan camera ke perbagai penjuru untuk mengabadikan pagi yang indah ini dari atap Ranah Minang. Tiang penunjuk ketinggian di puncak ini sudah hancur dan digantikan oleh sebatang besi yang ditancapkan dan diatasnya ada sebuah kubah mesjid kecil. Belakangan kami tahu rupanya yang memasang besi dan kubah kecil mesjid itu adalah Bang Daniel sendiri.

Ada 9 telaga yang bisa dilihat dari puncak, selain itu kami juga bisa melihat beberapa puncak lainnya yaitu, Puncak Rajo Imbang Langik, Puncak Rajo Dewa, Puncak Bukit berbunga, Dan Puncak Rajo di Batuang. Tentu nama-nama puncak tersebut tidak saya ketahui sebelumnya, dan setelah bercerita dengan Bang Daniel baru detail nama-nama puncak gunung Talamau bisa saya ketahui. Saat di puncak saya menyempatkan diri untuk posting di ke milis highcamp, sementara Kang Ronny, Tammy dan Lastri mengunjungi Puncak Rajo Imbang Langik dan Puncak Rajo Dewa. Sementara GPS menunjukan posisi saya berada pada 00° 04' 43.2" LU 099° 59' 02.1" BT dan berada pada ketinggian 2920m dpl (sedikit menyimpang dari ketinggian sebenarnya 2912m dpl ini adalah hal yang biasa pada GPS).

Dari kemaren kami saya tahu berita Gn. Talang meletus dari milis highcamp dan juga dari SMS teman-teman tapi pagi ini saya lihat puncak Gunung Talang tampak tenang dan tidak asap secuilpun di puncaknya. Lambat laun matahari mulai meninggi dan sekitar jam 07.30 kami turun kembali menuju basecamp kami di pinggir Telaga Putri Sangka Bulan. Di basecamp kami mulai menyiapkan makan pagi sebelum turun, ini perlu sekali mengingat medan yang akan ditempuh cukup jauh dan turunannya terjal. Saat makan sengaja saya memilih duduk dipinggir telaga sembari berharap rusa yang saya lihat kemaren muncul lagi, kemaren sore sewaktu berdiri di telaga ini saya melihat rusa yang akan minum tapi sebelum sempat saya photo atau rekam dengan handycam dia sudah keburu kabur. Rusa tersebut kecil tubuhnya mirip kancil dan buntutnya berwarna putih bergaris hitam. Sampai nasi di piring saya habis, sang rusa tidak muncul lagi. Setelah selesai makan dan packing kami mulai bergerak meninggalkan tepian Telaga Putri Sangka Bulan, berat hati meninggalkan keindahan kawasan telaga ini, namun kami harus segera turun karena hari sudah semakin siang, mudah-mudahan nanti kami tidak kemalaman dijalan dan sampai di Pos II harimau Campo sebelum hari gelap.

Serwaktu turun kembali kami bergelut dengan semak dan onak berdiri yang memenuhi jalur hingga sampai ke Pos Paninjanuan. Jarak yang jauh dari satu pos ke pos yang lain cukup membuat BT ditambah lagi dengan serangan pacet. Tapi rupannya dibandingkan kemaren ketiga teman saya lebih kalem karena pacet sudah tidak berani menyerang mereka, rupanya mereka telah menemukan resep anti pacet yang manjur yaitu apa yang mereka sebut dengan "Cream Anti Pacet" rupanya cream tersebut adalah sabun cair yang langsung dioleskan pada kaki tanpa memakai air. Jadi para pacet ogah mendekati kaki mereka...MMhmm... sangat kreatif, sedangkan saya tetap mengandalkan "gaiter anti pacet" dan "pacet repelent" yang memang sudah teruji sewaktu mendaki kemaren. Hari semakin siang pos Bumi sarasah pun telah dilewati, sementara ransel 100 liter di punggung mulai terasa semakin berat, padahal isinya sudah jauh berkurang. Beberapa kali kami terduduk jatuh karena jalur yang curam dan licin dan ditambah lagi banyaknya pohon yang menghalangi jalan. Sangat menyiksa sekali karena harus membungkuk kadang merangkak tapi masih saja ransel tersangkut, sementara sang pacet terus mengintai terus untuk mendapat kesempatan menempel pada tubuh kami. Kehilangan jalan setapakpun cukup sering kami alami, tapi setelah hati-hati lagi melihat string line dan memperhatikan jalan akhirnya kami bertemu lagi dengan jalan setapak yang benar. Memang sewaktu turun lebih mudah kesasar di banding sewaktu naik, ini dikarenakan juga karena faktor fisik yang sudah kecapean sehingga terkadang kewaspadaan jadi berkurang. Sewaktu mendekati daerah bukit Hariamu Campo, kami menemukan jejak kaki harimau yang masih baru. Cukup besar, Tammy menyempatkan diri untuk memotretnya, saat itu jarum jam sudah menunjukan pukul 17.05 sudah sore dan sebentar lagi gelap, kami harus buru-buru mencapai pondok Harimau Campo agar tidak kemalaman dijalan.

Tepat saat gelap menjelang sekitar jam 18.15 kami sampai juga di Pos II Pondok Harimau Campo, rupanya sang pemilik pondok yaitu Bang Daniel ada disana, dan kami berkenalan dan ngobrol sebentar, obrolan saya terhenti karena harus mendirikan tenda. Dan setelah tenda berdiri sembari ngobrol saya memasak makan malam, bahan bakar sudah menipis. Jadilah kami memasak secukupnya, sementara obrolan denan Bang Daniel semakin asyik apalagi Ronny, hingga saya, Lastri dan Tammy masuk tenda Kang Ronny berdua dengan Bang Daniel masih mengobrol, saya masih terjaga saat hujan turun dan setelah itu saya sudah terlelap dibuai suara titik hujan yang jatuh di atas tenda.

Pagi harinya saya terbangun dan rupanya Kang Ronny tidak tidur di tenda semalam tapi di Pondok bersama Bang Daniel, sembari menyiapkan sarapan kami kembali ngobrol dengan Bang Daniel, mengenai gunung Talamau dan juga mengenai pengalaman masing-masing. Sosok Bang Daniel ini sepertinya susah untuk dicari duanya, dia adalah seorang putra daerah yang benar-benar mengabdikan hidupnya pada kegiatan pendakian gunung khususnya Gunung Talamau, pria sederhana berumur sekitar 40 tahun ini, sudah mendaki sebanyak 31 gunung di Indonesia dan semua itu dilakukannya dengan cara bersepeda dan akhirnya berjalan kaki keliling Indonesia, tapi yang membuat saya angkat topi adalah dedikasinya pada gunung Talamau ini, dia lah yang membangun setiap pos pada jalur pendakian Talamau ini. Seorang diri dia membangunnya, berhari-hari dia habiskan waktunya untuk membangun pos-pos tersebut seorang diri dengan modal sendiri, dan juga setiap rambu-rambu penunjuk jalan juga dia bawa sendiri dan pasang sendiri. Memang dia saat ini adalah tenaga honorer dari Dinas Pariwisata Sumbar, akan tetapi uang honornyapun lebih banyak terpakai untuk mejaga jalur Talamau ini. Bahkan dia juga seorang diri merintis dan membangun jalur turun ke Gunung Pasaman, menurut ceritanya selama 18 hari dia di hutan untuk merampungkan jalur turun dan membangun pos di Gunung Pasaman. Dan terakhir dia juga sudah membuat jalur lain dari Desa Malapah Pasaman Timur, kembali dia lakukan seorang diri dan modal sendiri. Aturan pendakian gunung Talamau pun dia buat sendiri dengan mengadopsi beberapa aturan pendakian gunung yang ada di beberapa daerah di Indonesia. Kadang dia naik ke Talamau seorang diri untuk membersihkan jalur dan memungut sampah jika ada, tapi dari pengamatan kami selama 4 hari di Talamau, gunung ini bebas sampah. Bahkan penduduk setempat angkat topi, ada seorang bapak di desa Pinaga mengatakan, belum pernah dia melihat orang yang mampu melakukan seperti yang dilakukan oleh Bang Daniel. Bang Daniel hanya mengatakan dirinya seorang pecinta alam, dan memang dari dedikasinya selama ini dia layak menyandang sebutan tersebut, tidak hanya sebutan sebagai gagah-gagahan.

Tak terasa hari semakin siang, kami buru-buru packing dan harus segara turun menuju desa Pinaga dan langsung berangkat menuju kota Bukittinggi. Sewaktu akan turun Bang Daniel menolak uang restribusi yang kami bayarkan, kamipun bingung. Dia bilang melihat sampah yang kami bawa turun hingga ke Hariamu Campo saja sudah cukup buat dia. Sekarang menurut dia uang restribusi tidak diwajibkan karena PEMDA sendiri tidak mewajibkannya, jadi dia tidak mewajibkan para pendaki untuk membayarnya. "hitung-hitung membantu sesama pendaki" begitu katanya dengan logat Minang yang kental. Tapi kami tetap memaksa karena merasa telah merepotkan Bang Daniel, dengan berat hati akhirnya dia menerimanya kemudian dia memberikan buku cerita perjalanan dia selama keliling Indonsia dan juga VCD tentang Gunung Talamau dan Gunung Pasaman yang dia buat sendiri. Setelah berfoto bersama dan saling berjabat tangan kamipun segera turun, selama diperjalanan kembali saya ngobrol dengan Bang Daniel dengan memakai HT. Macam-macam yang kami obrolkan, rupanya dia sangat suka "ngebreak". Hingga perjalanan yang cukup jauh ke Desa Pinaga tidak begitu terasa karena saya ditemani obrolan dengan Bang Daniel.

Didesa pinaga kami menumpang istirahat di rumah penduduk dipinggir jalan, dan mandi di sungai yang berair jernih.., ahhh.... seger sekali setelah 4 hari tidak mandi bau nadan ini sudah seratus rupa....., sejuknya air sungai memulihkan kesegaran badan. Sekitar jam 13.00 kami sudah berada di kendaraan menuju kota Simpang Ampek dan selanjutnya menuju Bukittinggi, tapi ternyata sampai di Simpang Ampek mobil yang ke Bukittinggi telah berangkat. Rupanya mobil terakhir yang berangkat ke Bukittinggi hanya sampai jam 13.00 siang, sekarang tinggal satu mobil di terminal itupun tujuan ke Pekan Baru, lalu sopirnya bilang bisa naik sampai ke Bukittinggi tapi jika ada penumpang yang ke Pekan Baru naik di Jalan kami harus mengalah dan duduk di bangku serep. Ya... ngga apa-apalah pikir kami dari pada buang waktu satu hari lagi disini. Sekitar jam 16.00 mobilpun berangkat, kami melewati Danau Maninjau dan singgah berhenti makan disini. Danau yang terkenal di manca negara ini tampak berkabut sore itu. Namun sayang "Kelok 44" yang terkenal itu kami lewati saat hari sudah gelap jadi pemandangan Danau Maninjau tidak bisa kami nikmati. Sekitar jam 20.30 kami sampai di kota Bukittinggi, babak pertama perjalan kami telah berakhir dan selanjutnya menunggu Lembah Harau untuk di explore.........

Selasa, 29 Januari 2008

The Perfect Storm in Sindoro


Pagi yang basah saat bus yang saya tumpangi memasuki terminal bus Wonosobo, masih pagi sekali dan terminal terlihat sepi, teman-teman masih ada yang terbengong-bengong karena baru bangun tidur mungkin tingkat kesadarannya masih setengah. Saya menggendong ransel 80 liter saya menuju bus tiga perempat yang sudah menunggu disamping, bus yang bertrayek Wonosobo – Magelang ini akan kami tumpangi hingga sampai di desa Kledung tempat titik awal pendakian ke Gunung Sindoro di mulai.

Kami berjumlah lebih dari dua puluh orang dan berencana akan merayakan tahun baru 2008 di puncak Sindoro. Tak kala bus melaju tampak sosok Sindoro di sebelah kiri, puncaknya tertutup awan yang menggantung, sepertinya awan hujan. Sekarang musim hujan jadi saya dan teman-teman dah ngga berharap banyak akan mendapatkan cuaca bagus terlebih lagi juga musim badai. Bus terus melaju, hingga akhirnya kami turun di Kledung dan langsung menuju Basecamp Sindoro yang di kelola sekarang oleh seorang pemuda bernama Ragil.

“Mas Ragil ya?” ujar saya saat menyalami seorang pemuda yang keluar dari dalam rumah. “betul mas”, jawabnya sembari tersenyum. “Dari jakarta ya? Berapa orang? Mau naik hari ini?” lanjut pertanyaannya beruntun dan akhirnya saya dan dia tenggelam dalam percakapan mengenai rencana pendakian dan keadaan Gunung Sindoro sekarang, sementara teman-teman mulai sibuk repacking, mengeluarkan barang yang tidak penting untuk di titipkan di basecamp ini karena kami turunnya kembali lewat Kledung ini.

Ini adalah kunjungan saya yang kedua ke gunung ini, yang pertama pada tahun 1988, kondisi Kledung jauh berbeda sekali dengan sekarang, dan menurut cerita Ragil, perladangan penduduk juga sudah jauh naik keatas. Dewasa ini dari Basecamp hingga ke pos bayangan pos 1 bisa ditempuh dengan ojek dengan tariff sepuluh ribu rupiah. Kalau ditempuh dengan jalan kaki kurang lebih 2 jam perjalanan dan terdapat empat pos pada jalur pendakian kledung, hanya pada lokasi pos empat tidak begitu jelas letaknya.

Sekitar jam 9 pagi jalan setapak jalur pendakian menuju pos 1 sudah dipenuhi oleh langkah-langkah kami yang bersemangat. Pendakian kali ini ada dua milis yang bergabung, yaitu milis highcamp yang terdiri dari saya, Dipa, Arif, Rona, Dian, Dwi, Ayip, Ella, Irvan, Anno, Rita, Taufik dan Ephot, dari milis Jejak Petualangan ada Nhanha, Kris, Yani dan Bayu. Disamping Ephot juga ikut teman-temannya enam orang, jadilah rombongan kita telah membuat ramai basecamp Sindoro pagi tadi dan sempat membuat sibuk ibu-ibu disana saat kami memesan makan pagi untuk porsi lebih dari dua puluh orang. Pos 1 ke Pos 2 terasa tidak begitu jauh, mungkin itu hanya bagi saya entah bagi teman-teman yang lainnya, seperti biasa perlahan teman-teman mulai terpecah menjadi tiga kelompok jalan, yang cepat, yang sedang dan yang pelan. Namun target perjalanan kami hari ini adalah Pos 3 disana kami akan mendirikan tenda dan bermalam. Kami ingin melakukan pendakian ini dengan santai dan tidak terburu-buru. Jalur pendakian gunung Sindoro lumayan tajam tanjakannya dan medannya cukup terbuka, sayang kabut terus menemani kami sehingga sosok kembarannya yaitu Gunung Sumbing yang tegak berdiri di belakang arah pendakian kami tidak bisa terlihat.

Sekitar jam 2 siang kami sampai di Pos 3, lokasi pos ini cukup besar dan bisa menampung beberapa tenda kami, meskipun kami tidak bisa berkumpul semua tapi ada setidaknya 6 tenda yang bisa didirikan berdekatan. Masih banyak waktu sebelum gelap, begitu tenda berdiri saya menyantap nasi bungkus yang di beli di kledung tadi, lapar sekali kalo harus masak dulu sepertinya ngga sanggup menunggunya. Dalam hitungan menit nasi bungkus berlauk telor ceplok dan sayu tempe tersebut sudah berpindah keperut saya dan lalu saya meluruskan kaki duduk didalam tenda sementara diluar sana kabut makin tebal, angin mulai bertiup dan benar saja berikut pasti gerimis menyusul, untunglah teman-teman semuanya sudah selesai mendirikan tenda. Dipa mulai aktifitasnya memasak ditandai dengan bunyi panci trangianya yang beradu saat menyiapkan kompor, tenda nya Ella sepertinya juga begitu, saya juga mulai memasak air dengan di bantu oleh Rona. Teh manis panas pasti akan nikmat sekali di suhu yang seperti ini.

“wah lumayan pemandangannya, kabut tersibak dikit nih..!!” teriak seseorang dari luar tenda, saya bergegas membuka pintu tenda yang mengarah persis ke arah Gunung Sumbing, dan bener saja sedikit sosok Gunung Sumbing terlihat dan beberapa kampung dibawah sana, lumayanlah cukup untuk memulai sesi foto-foto, dan tanpa dikomando satu persatu teman-teman keluar dari tendanya dan mulai sibuk dengan cameranya masing-masing. Saya mengedarkan pandangan ke arah puncak, dari pos 3 ini puncak tidak kelihatan tertutup oleh punggungan, yang juga ditutupi kabut dan hanya terbuka sesekali, angin bertiup cukup kencang. Ada sepuluh tenda dari rombongan kami, dua tenda yaitu tenda Dwi dan tenda Yani berada dalam dalam semak belukar agak tersembunyi, satu tenda lagi yaitu tenda Taufik member milis HC dari Malang, berada diatasnya masih dalam rimbun belukar. Kemudian tenda Ephot dan teman-temanya ada disebuah pelataran berdampingan dengan tenda pendaki lain yang bukan rombongan kami, dan enam tenda lainnya berdiri berdekatan di daerah yang cukup terbuka. Pos 3 dipilih sebagai lokasi ngecamp adalah karena hanya di daerah ini yang bisa menampung tenda cukup banyak, selepas pos 3 ini tidak ada lagi tempat yang cukup untuk menampung rombongan sebanyak rombongan kami. Dari Pos 3 hingga kawasan puncak masih berjarak sekitar 5 jam waktu tempuh jadi jika diukur dengan jalan santai kami akan molor menjadi 8 jam. Sindoro tidak ada sumber air, jadi untuk bekal memasak dan minum kami memang sengaja membawanya dari Kledung, jika musim hujan begini terdapat genangan air mirip telaga di dalam kawah. Dan bisa digunakan untuk memasak, jadi untuk persediaan air pas bermalam di kawasan puncak esok hari saya tidak terlalu khawatir.

Cukup lama diluar dan kemudian saya kembali kembali kedalam tenda, “masak apa bang?” Tanya Rona saat duduk didekatnya, “pokoknya yang enak deh” jawab saya sembari nyengir. Lalu mulailah sesi acara masak bersama Rona, Dipa dan Dian hebohnya melebihi acara masak Wok With Yan yang terkenal itu. Diluar juga kabut dan angin tidak kalah hebohnya menemani kami di Pos 3, senja perlahan turun rintik hujanpun kadang turun dan berhenti silih berganti. Rona sigap sekali menyiapkan masakan, nasi sudah tanak dan sekarang giliran lauknya, hari ini kami memasak tumis buncis dicampur jagung muda dan dilengkapi dengan telur serta ikan asin, sosis goreng sebagai pelengkap. Tidak begitu lama kemudian hidangan pun siap disantap, sederhana tapi terasa nikmat sekali. Karena cuaca yang tidak mengijinkan akhirnya kami tidak jadi memasak berbarengan dengan teman-teman yang lainnya. Hujan turun semakin deras, “Nhanha mana perkedelnya..?? dah mateng belum?.!! Teriak saya dari dalam tenda, “udah bang, tapi ambil sendiri nih ngga ada delivery service..” jawab Kris, ya hujan-hujan begini jadi males keluar tenda. Hujan semakin lebat diikuti oleh angin dan suara gledek, tenda saya dan Dipa disatukan dengan sebuah flysheet dan dari sana mengucur deras air hujan, saya menarok beberapa misting dan Dipa menarok jerigen air lipatnya, lumayan setidaknya bisa dipakai masak dan cuci-cuci. Angin yang kencang berubah jadi badai, saya mengintip keluar tenda semua putih tertutup kabut alias zero visibility, brrr…. Angin menyeruak masuk tenda, buru-buru saya tutup lagi, kalo begini gagal deh bikin foto glowing tent sindoronya aku membatin sendiri sembari nyengir. Seiring jatuhnya malam dan hujan makin lebat badai semakin kencang, saya diam didalam tenda yang hanya bergetar di terpa badai, ini adalah pengalaman yang kesekian kalinya bagi saya di hantam badai di gunung. Suara hujan, dan kepakan tenda serta flysheet menjadi musik pengiring tidur malam ini dan perlahan suara tersebut menjadi lenyap seiring dengan lelapnya tidur malam itu.

Hari kedua digunung Sindoro, pagi ini tidak aktifitas lain kecuali seputar masak sarapan pagi dan foto-foto, Kabut hanya sesekali beranjak, “bang sory, gue dan teman-teman ngga jadi ngecamp di puncak, gue nga yakin sama tenda gue bang, jadi nanti muncak lansung turun dan kita mau lanjut ke Dieng” jelas Ephot sambil menjabat tangan saya untuk pamitan. “Ok no problem Phot, take care aja, semua temen elo ngikut ya?” jawab saya sembari melihat kearah teman-teman Ephot yang sudah siap packing dan sudah bersiap hendak muncak. Dan rupanya Yani dan Taufik juga ikut dengan mereka, “gue juga ngga jadi ngecamp di puncak, gue juga ngga yakin sama tenda gue.” Jelas Anno juga mengikuti langkah yang di ambil Ephot. Memang tenda milik Ephot dan Anno ngga cocok dipakai gunung saat cuaca lagi banyak angin begini, karena tenda mereka merupakan tenda camping, kapasitas 4 orang dan konstruksi tendanya cukup tinggi sehingga merupakan sasaran empuk bagi angin. Total yang mundur untuk ngecamp di puncak ada sepuluh orang, sementara sisanya, tetap akan ngecamp di puncak dan merayakan tahun baru disana.

Rute pendakian selepas Pos 3 benar-benar menguras tenaga karena selain curam dengan kemiringan kadang mendekati delapan puluh derajat, juga licin dan berbentuk parit-parit yang terbentuk karena aliran air hujan, jadi bisa dibayangkan jika hujan pasti jalur ini akan menganak sungai dan akan susah sekali untuk di tempuh. Kabut kembali menutupi sosok Sindoro, kami bergerak perlahan menuju puncak, jalurnya makin terjal dan penuh dengan batu-batu licin. “Naiknya enak, turunnya… gawat nih bang..” komentar Rona saat kami melewati satu tanjakan yang cukup terjal. Saya dan rona serta Dwi ada di urutan tengah, sementara di depan ada Ella, Irvan, Dipa dan Dian, dan saya yakin saat ini pasti mereka sudah berada dikawasan puncak sekarang. Mendekati daerah Pos 4 kami bertemu dengan rombongan Ephot dan Anno, mereka bilang puncak berkabut dan badai, setelah ngobrol sebentar lalu mereka turun dan kami bertiga melanjutkan pendakian. “gue nunggu Ayip dulu, elo duluan deh” kata Dwi sembari duduk istirahat, saya melihat kebelakang Ayib memang tidak begitu jauh, jadi kemudian saya dan Rona terus melangkah, “kita harus nguber yang didepan takutnya mereka ngga tau tempat mendirikan tenda” kata saya ke Rona dan dia mengangguk setuju.

Memasuki kawasan puncak badai kecang sekali dan kabut membatasi pemandangan, tapi samar-samar terlihat Dipa dan Dian tengah berusaha mendirikan tenda dan tidak jauh dibawahnya ada Ella dan Irvan melakukan hal yang sama, “Ooiiii, jangan disini disebelah sana ada dataran yang bagus spotnya, kalau elo diriin disini yang lain ngga bakal bisa dan anginnya juga keceng banget..!!” teriak saya sembari berusaha mengalahkan gemuruh suara badai. Benar-benar “the perfect storm” gumam saya dalam hati. Waktu ke merbabu kemaren juga badai tapi badai di Sindoro ini lebih kencang. Setelah membantu ella dan Irfan, kami menuju lokasi camp yang saya temukan disisi sebelah kiri dari puncak. Badai ini pasti akan menyulitkan kami mendirikan tenda, “biar mudah kita dirikan tenda satu-satu dengan jalan keroyokan, jadi tenda akan lebih mudah didirikan, dan jangan lupa pasang tenda dengan benar, patoknya pasang semua termasuk tali-tali guys lines nya”, ujar saya sedikit memberi komando biar teman-teman cepat bergerak. Dan satu persatu tendapun berdiri, “yang kenceng…!!!! Jangan kendor, bikin ngacenggg…!!” teriak saya agar teman-teman memasang tenda dengan benar dan tidak kendor, memasang tenda kendor ditengah badai akan berpotensi tenda tersebut akan robek oleh badai. Produsen tenda membuat tali-tali pengaman dan pasak-pasak pengaman adalah agar tenda bisa berdiri tegak meski badai menerjang. Kegiatan di alam bebas memang cocok sekali membangun semangat team work dan ini terlihat sekali sewaktu kami mendirikan tenda di tengah badai waktu itu, kelihatan sekali siapa yang punya jiwa pemimpin, siapa yang cepat tanggap dan bisa bekerja sama serta akan kelihatan juga siapa yang rada lemot dan daya inisiatif nya lambat seperti kura-kura. Saat mendirikan tenda milik Dwi, ada sedikit keganjilan, benar saja rupanya frame tenda ini terlalu pendek dan tenda ini berdiri sangat tidak sempurna sekali, saya ngga yakin ini tenda bisa bertahan dalam badai yang seperti ini. Ayip yang bawa tenda ini saat saya konfirmasi mengenai pasak dan tali-tali tenda tampak kebingungan, “wah ngga tau nih gue hanya bawa doang..”. apa boleh buat tenda tersebut jadi seperti penyanyi dangdut bergoyang-goyang ditiup angin.

“Dwi…Dwi… oiiiiiiii “ teriak saya melawan suara badai, saya kembali kejalur trek untuk menyusul Dwi yang belum sampai, menurut Ayip Dwi ngga begitu jauh dia tinggalkan tadi, terdengar teriakan sahutan, dan saya bergegas turun sekitar jarak 100 meter saya bertemu Dwi, kemudian dia saya antar hingga ke lokasi ngecamp, badai masih kencang. Saya ajak Kris untuk menemani saya menyusul Arif dan Bayu yang juga belum sampai. Namun di daerah puncak saya bertemu Bayu, “Arif mana Bay?” Tanya saya, “masih dibawa bang,” jawabnya “jauh ngga?” lanjut saya lagi.. “ngga terlalu jauh deh..” jawab dia. “Ok elo ambil terus jalan kekiri dan ntar belok kiri turun ya lokasi camp kita ada di situ, gue berdua mau nyusul Arif dulu.” Jelas saya pada Bayu sembari turun ke jalur setapak bersama Kris untuk menyusul Arif. Kami bertemu Arif juga tidak jauh dari puncak. “sini gue bawain ransel elo” tawar Kris pada Arif, “boleh, thanks ya” Arif menyerahkan ranselnya pada Kris dan bersama kami kembali ke lokasi nenda dan bersama-sama mendirikan tenda Arif.

Selepas mendirikan tenda Arif, hujan gerimis turun, meskipun gerimis kecil tapi karena disertai badai membuat bunyi gerimis tersebut terdengar santer menghempas tenda. Semua sudah di tenda masing-masing, entah apa yang dikerjakan mereka, saya sendiri sudah masuk ke sleeping bag, Rona sedari tadi dah sibuk masak Indomie, “bang aku tadi sempat terkena Hypo ringan, jari tanganku beku semua” kata Rona, “elo kan punya sarung tangan kok ngga dipakai?” tanya saya. Dia Cuma tersenyum sembari mengaduk-aduk mie. Badai kencang masih bertiup suara kepakan tenda Dwi keras sekali terdengar layaknya kibaran bendera, sesekali saya mengintip keluar dari tenda memperhatikan semua tenda, Tenda linchfield nya Nhanha kokoh berdiri, tampak tenda Coleman Arif juga cukup kuat karena diberi pemberat batu pada ujungnya. Sementara tiga tenda lainnya memang dirancang buat badai jadi saya tidak begitu menaruh perhatian. Semakin malam badai terus menghajar tenda-tenda kami. “Arif …. Gue pindah ketenda elo ya…!!” suara teriakan dari tenda sebelah dan ternyata suara Ayip, “Okeeeeeehhhhh” terdengar suara Arif berteriak menjawabnya, “wah bang itu suara Ayip tuh, wah pasti next mba Dwi yang teriak nih..hehehehe” kata Rona sembari nyengir…. Saya hanya senyum dan memang saya sudah perkirakan, karena melihat kondisi tenda Dwi yang sama sekali tidak cocok dalam situasi badai kecang seperti ini. Dan benar saja tak lama kemudian.., “Hendriiiiii, gue pindah ketenda elo…..” teriakan Dwi dan dia dah nongol di pintu vestibule tenda. “ayo masuk Dwi…., sorry masih berantakan” sambut saya. “Gila badainya tenda gue sampai banjir…” keluh Dwi. Badai malam ini memang benar-benar “The Perfect Storm”. Diluar terdengar suara pendaki lain yang baru sampai dan sibuk mendirikan tendanya, sebelumnya ada juga beberapa pendaki lain yang mendirikan tenda persis di belakang tenda saya. “Dimasakin Indomie mau mba?” tanya Rona sama Dwi, “boleh deh” jawab Dwi. Badai terus membuat tenda bergetar, untunglah konstruksi tenda yang memang dirancang untuk pendakian gunung ini bisa tetap membuatnya tegap berdiri.

“Oiii.. tenda Mba Dwi udah kolaps…!!!” teriak sebuah suara dari luar, dan benar saja saat saya mengintip dari pintu tenda terlihat tendanya Dwi sudah rata dengan tanah. “benar-benar the perfect storm” saya kembali bergumam, “Dwi gimana barang-barang elo tuh?” tanya saya ke Dwi, “ngga apa-apa tadi sebelum ke sini sempat gue beresin, paling sisa masakan gue tadi didalam” sahut Dwi. “aduhhh masih hujan ya… pengen kecing nih” keluh Rona yang sedari tadi nahan buang air kecil karena ogah keluar. Tidak berapa lama kemudian Dwi yang selesai makan Indomie, mendadak keluar tenda, rupanya dia juga sudah tidak tahan untuk tidak buang air kecil, dan ternyata hanya hujan gerimis kecil, karena badai yang kencang membuatnya suara seperti hujan lebat saat menerpa tenda. “Oiii ini misting siapa nehhhh…!!!, ketiup-tiup angin..!!” teriak Dwi dari luar, wah gila juga anginnya sampe sanggup menerbangkan panci misting kosong yang ada diluar, begitu tahu hujan tidak begitu lebat akhirnya saya juga jadi kepingin keluar, Rona mengikuti karena juga dari tadi sudah blinsatan untuk buang air kecil. Dari cahaya headlamp saya hanya terlihat putih saja angin kencang sekali, saya memeriksa tenda Dwi, ternyata ada beberapa framenya yang patah. Hanya patok-patok tendanya saja yang membuat tenda ini tetap pada posisinya dan tidak diterbangkan angin. Sekembalinya ke tenda bergelung masuk sleeping bag terasa sangat nyaman sekali. Jarum jam masih menunjukan jam 11 malam. “wah ngga jadi nih pesta kembang apinya hehehehehe..” gumam saya, sementara Dwi dan Rona hanya nyengir.

Tepat jam 00.00 WIB saya meniup peluit badai kepunyaan Dwi…. Sembari membuka sedikit pintu tenda “oooiiiiii selamat tahun baru….!!!!”” Saya berteriak dari dalam tenda dan disahuti oleh Dipa, Kris, dan Arif. Tidak ketinggalan pendaki lainnya yang ada disana juga membalas ucapan tersebut, Dipa membuka pintu tendanya di ikuti oleh Kris. “Kris, Nhanha mana? Dah tidur ya?” tanya saya, “udah bang tewas dia..hehehehehe” jawab Kris. Jadilah perayaan tahun baru itu kami rayakan di dalam suasana The Perfect Storm Sindoro, dan dengan memainkan cahaya headlamp yang membentuk seperti spotlight didalam kabut. Tiba-tiba Dipa nongol di pintu tenda nawarin pudding, “bang nih mau ngga? Puding tahun baru” tawarnya kami menerimanya, “kita juga bikin sih, tau tuh si Rona sukses apa ngga pudding bikinan dia” sahut saya sambil menelan pudding pemberian Dipa. Malam semakin larut sekarang sudah tahun 2008 perlahan dalam hati saya mengucapkan doa agar kehidupan di tahun ini lebih baik di tahun sebelumnya, dan perlahan melelapkan diri, Dwi dan Rona sudah diam dari tadi mungkin sudah berlayar jauh dalam mimpi mereka masing-masing.

Pagi hari, ini adalah hari pertama di tahun 2008, semua teman-teman tengah sibuk berfoto ria, karena pagi ini langit cerah, kabut perlahan tapi pasti menyibak dan pemandangan Sumbing serta nun di belakangnya Merbabu dan Merapi terlihat dibalik samar kabut dan awan, terobosan sinar matahari seperti membentuk lobang diatara ketiga gunung tersebut, pemandangan yang memukau, angin masih berasa cukup kencang. “Gue mau ambil air bang jalannya lewat mana?” tanya Kris, “naik sana terus elo ke arah puncak kemaren dan kemudian turun dari sana” jawab saya, kemudian Kris bertiga dengan Irvan dan Arif pamit untuk mengambil air di kawah. Saya, Rona dan Dwi bersiap untuk memasak sarapan, “Pada masak nasi aja dan kalo ada lauk masak juga ntar kita makan bareng, gue juga mau masak nih..” saya ngasih info sama Nhanha, Dipa dan yang lainnya. Pagi ini cuaca lumayan cerah tapi masih ada sedikit gerimis kabut, awan masih banyak mengantung di beberapa bagian langit, pertanda cerah pagi ini tidak akan lama. Sekitar jam 9 pagi makanan sudah jadi dan buru-buru makan karena takut cuaca akan segera berubah hujan kembali, packing harus sudah kelar disaat cuaca cerah begini.

Pada pendaki lain sudah banyak yang meninggalkan areal ini, kamipun mulai packing sementara sosok Sumbing jelas sekali terlihat, matahari menampakan sinarnya, tapi kadang kembali tertutup kabut dan kadang terbuka kembali. Sekitar jam sepuluh pagi kami sudah siap untuk turun kembali menuju Kledung, setelah sesi bikin foto keluarga di kawasan puncak, satu persatu kembali langkah kami menapaki jalur setapak turun, kabut kembali menutupi wilayah puncak Sindoro. Kledung kami raih disaat matahari sudah condong, sekitar jam 3 sore baru semuanya sampai di basecamp. Saya, dengan arif dan Rona berinisiatif duluan ke Wonosobo untuk membeli ticket bus, nanti nya teman-teman lainya menyusul karena masih ada yang sibuk mandi dan sebagainya, namun rupakanya keberuntungan tidak berpihak pada kami, saat sampai di terminal Wonosobo, Bus AC sudah berangkat bus ekonomi sepuluh menit lagi jalan, “gue baru nyampe Kertek nih” sahut Kris diseberang telpon saat saya menanyakan posisi teman-teman sekarang. Wah dah nga mungkin, akhirnya saat mereka semua dah ngumpul di Wonosobo kami putuskan untuk mencarter angkot hingga ke Purwokerto karena menurut info dari petugas Bus di Wonosobo, di Purwokerto banyak bus hingga jam 12 malam.

Perjuangan mendapatkan trnasportasi untuk pulang di purwokerto juga sangat alot, semua bus penuh, kereta penuh, dari ekxekutif hingga ekonomi… satu kata “PENUH” kami lemes semua ditambah lagi biang kerok supir taksi gelap di stasiun sempat membuat argo emosi saya melonjak tinggi. Akhirnya berkat Irfan yang gigih menanyakan kemungkinan kami untuk dapat tiket kereta berbuah hasil, walaupun harus dapat karcis bediri di kereta bisnis, kami terpaksa ambil, kereta yang super penuh itu akhirnya membawa kami kembali ke Jakarta, saya, Ella, Irvan, Nhanha, Rona, Kris, Arif dan Bayu, bersama kami naik kereta tersebut sedangkan Dian dan Dipa di Wonosobo mereka langsung ke Bandung. Dwi dan Ayip masih jalan ke Dieng. Berdelapan kamu akhinya memasuki Jakarta pada jam 4 pagi dan ternyata Jakarta banjir…..

Bersalaman kami berpisah di stasiun Jatinegara, kembali ke kehidupan normal masing-masing, terima kasih teman bersama kalian menempuh badai Sindoro dan begadang di kereta penuh sesak, sungguh suatu pengalaman yang membuat saya semakin tahu keterbatasan diri ini. “ayo pak jalan..” pinta saya pada supir taksi sembari menyebutkan alamat home sweet home……

Minggu, 06 Januari 2008

Dibalik Kabut Merbabu


“Eh… gimana sih, padahal kita dah booking villa lho” ujar Mba Lia Mustafa owner dan Moderator milis highcamp Jogjakarta saat menyambut saya, Ori dan Heru di rumahnya. “mana yang lainnya?” lanjutnya lagi. “Iya mba maaf, soalnya badai yang cukup kencang membuat kita ngga berani membawa teman-teman cewek untuk membawa gebolan ransel melewati kawasan puncak, jadi batal turun ke Selo.” Jawab saya sembari menyalami Mba Lia saat dia muncul bergabung dengan Mas Mustafa suaminya yang sedari tadi menemani kami ngobrol. “Mba Rachmi langsung ketemu saudaranya, Titi juga ketemu saudaranya, sedangkan Suwasti ngikut Titi.” Uraiku panjang lebar menjawab pertanyaan Mba Lia mengenai anggota tim Merbabu lainnya yang ngga kelihatan olehnya. Dan selanjutnya bisa ditebak obrolan melepas kerinduan dengan kakak yang satu ini pecahlah sudah, dan sangat menyenangkan.

Empat hari sebelumnya, di Lebak Bulus, Saya tengah celingak-celinguk mencari keberadaan Ori dan Suwasti yang sudah dulu sampai di terminal ini, kami memang hari ini akan berangkat mendaki gunung Merbabu di Jawa Tengah. Dari Jakarta kami berjumlah lima orang, dua orang lainnya yaitu Heru dan Titi ungu yang saya yakin sekarang juga sudah meluncur menuju terminal bus Lebak Bulus. Dua anggota tim lainnya yaitu Mba Rachmi dan Bowo akan bergabung dengan kami di desa Wekas, tempat dimana kami akan memulai pendakian. “Ori dimana posisi elo tepatnya?” akhirnya saya menelpon Ori karena belum juga menemukan mereka berdua, “di rumah makan padang bang, didepan bus yang mau ke Garut” jawab Ori diseberang telpon. Akhirnya tak beberapa lama kemudian kami sudah berkumpul semua, dan bukan itu saja kami juga sempat betemu dengan teman-teman dari milis #Pendaki yaitu Nanda cs yang akan berangkat ke Gunung Slamet.

Alunan “Aku Mau” nya Once mengalun dari Ipod kesayangan saat bus mulai melaju menembus gerimis meninggalkan Jakarta. Titi dan Suwasti duduk paling depan dibelakangnya Ori dan Heru, sedangkan saya kebagian duduk sendiri, tapi tidak sendiri juga disebelah saya duduk gadis manis yang kemudian saya ketahui namanya Ratna yang baru lulus SMA dan mau berlibur ke tempat neneknya. Aku mau-nya Once terus mengalir dan perlahan saya pun jatuh tertidur. Bus malam Kramat jati terus melunjur menuju Jawa tengah, berhenti sekali untuk makan malam dan melaju lagi.

“+=*&^%$#..??” si kenek bus bicara sama Ori dengan bahasa Jawa, saat itu bus sudah mendekati kota Magelang tepatnya di kota Bawen, rupanya kami akan diturunkan di Bawen sini karena dengan alasan mobil yang kami tumpangin ini tidak menuju Magelang. “tuiiiingggggg” seperti biasa saya langsung ngomel, mereka menyalahkan kita ngga baca dulu busnya sebelum naik. Padahal sebelumnya di Lebak Bulus yang menyuruh kita naik bus ini adalah petugas mereka. Sedikit argument dan ribut akhirnya kita ngalah dan turun di Bawen, si kenek itu memberikan uang operan pada calo untuk mecarikan kami mobil ke magelang, dalam hati saya berjanji untuk tidak naik Kramat Jati lagi, jarum jam masih menunjukan jam empat pagi, udara cukup dingin dan basah karena habis hujan. Dengan kondisi begini, akhirnya kita memutuskan untuk carter angkot hingga ke Magelang dari sana kami langsung carter kendaraan menuju desa Wekas.

“Ayo turun dulu, ngga kuat nih mobilnya” ajak Ori saat Mobil Zebra Espass yang kami tumpangi tidak mampu melewati tanjakan terjal menuju Desa Wekas, hari masih pagi sekitar jam enam, masih basah dan cukup dingin. Mau tidak mau akhirnya kami turun, dan sang Zebra mengambil ancang-ancang dan lanjut meraung-raung mesinnya melewati tanjakan tersebut. Memang kondisi jalan cukup terjal dan jalannya berlapis batu-batu licin. Desa Wekas ini berada di ketinggian 1722m dari permukaan laut, dari belakang rumah kuncen gunung ini yaitu pak Sutyoso kita bisa memandang lepas kearah gunung Sumbing dan Sindoro yang gagah berdiri. Kami disambut oleh Bowo saat sampai di rumah pak Yoso, saya langsung masuk dan betemu pak Yoso juga Mba Rachmi dengan pasukannya, rupanya pada pendakian pertamanya mba Rachmi diantar oleh temannya Romna yang kemudian akrap saya panggil Romla, kemudian mba…????..aduh namanya lupa, disamping itu juga ada anaknya mba Racmi serta anak temannya itu. Mereka akan mengantarkan mba Rachmi hingga minimal sampai pos 1.

Untuk mendaki Merbabu umumnya ada tiga jalur umum yang selalu dipakai yaitu jalur Cuntel dan Tekelan dari sisi Utara serta jalur Selo dari sisi Selatan. Ada satu lagi jalur dari sisi Barat yaitu dari Wekas, jalur ini karena merupakan rute langsung (direct route) lebih pendek dan memang lebih menanjak namun waktu tempuhnya lebih cepat ketimbang dari sisi Selatan dan Utara. Ditambah lagi faktor air yang cukup tersedia di Pos II jalur ini, belum lagi view yang sangat menawan dari Pos II dan ada sebuah air terjun yang berada dibawah lembahnya. Inilah yang membuat saya mengusulkan pada teman-teman untuk memilih jalur Wekas sebagai akses menuju puncak Merbabu. Pada jalur wekas ini hanya terdapat dua pos istirahat yaitu pos satu dan pos dua.

Hanya sebentar kami di basecamp nya pak Sutiyoso ini, masih pagi dan kamipun langsung memulai pendakian setelah berdoa bersama dan meneriakan yel..yel.. “Baaweenn.!!” Yah.. akhirnya kata bawen menjadi yel-yel kami, dan Herupun menjadikannya sebagai kalimat ledekan saat bercanda dengan Suwasti. “elo sih karena Bawen dan banyak makan Bakwen kita jadi turun di Bawen…hahahahahahahaha” demikian joke yang diucapkan Heru. Sebelum kami akhirnya berangkat memulai pendakian ke Merbabu.

aku mau mendampingi dirimu
aku mau cintai kekuranganmu
selalu bersedia bahagiakanmu
apapun terjadi
Ku janjikan aku ada

Kau boleh jauhi diriku
namun ku percaya
kau akan mencintaiku
dan tak akan pernah melepasku

Alunan Aku Mau – nya Once mengalir dari speaker kecil yang tergantung di ransel saya, entah kenapa lagu tersebut menempati urutan teratas di tangga lagu kegemaran saya saat ini, dan menemani langkah kami menapaki jalan setapak rute pendakian Wekas. Jalan setapaknya yang awalnya berupa susunan batako yang di semen sekarang sudah berganti dengan jalan tanah yang cukup licin namun jelas terlihat, sementara rombongan pengantar Mba Rachmi tampak bersemangat sekali menapakinya, cuaca mendung dan sesekali kabut turun. Selepas pos 1 rombongan pengantar mba Rachmi kembali turun, dan kami terus bergerak menuju Pos 2. keadaan rute pendakiannya cukup menanjak karena ini jalur direct jadi tidak heran tanjakan curam cukup banyak ditemui.

“wow indah sekali” saya berdecak kagum saat memasuki pos dua, dari pos dua ini jejeran punggungan dan puncak-puncak jelas terlihat. “Ori mirip dengan view di basecamp pegunungan alpen di Jepang, bedanya disana puncak-puncak dan pungungan itu berwarna putih tapi kalo disini hijau” ujar saya pada Ori yang juga tengah enjoy dengan view di pos II ini. Sesekali kabut turun menutupi jajaran puncak-puncak tadi tapi kemudian kembali tersingkap, indah sekali. Nun dibawah lembah sana terlihat air terjun yang cukup besar sehingga bunyi pecahan airnya terdengar hingga ke tempat kami berdiri.

Selesai makan siang, tidak bisa berlama-lama disini karena mendung sudah semakin tebal, dan benar saja saat baru melangkah meninggalkan Pos II hujan turun dan semakin deras, kami terus melangkah kabut juga membuat jarak pandang semakin pendek, jalan setapakpun berubah menjadi aliran air seperti sungai kecil. Kami terus melangkah untunglah kami sudah siap sedia dengan kondisi “wet weather” begini.

Mendekati daerah puncak Antene, hujan berhenti dan perlahan kabut menyibak, jalur Wekas ini akhirnya bertaut dengan jalur dari Kopeng (cuntel dan Tekelan) dan menyatu hingga kepuncak. Sempat bertemu beberapa pendaki lainnya dan saling bertegur sapa. Seperti rencana akhirnya kami mendirikan tenda di sebuah pelataran yang di kenal dengan sebutan Hellypad. Sebuah dataran yang cukup menampung 4 tenda dan beranda diantara dua puncak kecil. Hellypad ini bagus sekali untuk lokasi tenda, karena pemandangan dari sini sangat indah dan juga jika turun kebawah kearah kawah kita bisa menemukan sumber air. Sekitar jam lima sore tiga tenda kami sudah berdiri hanya dua tenda yang kami pakai satunya kami gunakan untuk gudang logistik dan barang-barang, kabut tebal kembali menutupi lokasi camp kami dan membuat jarak pandang terbatas. Detingan panci trangia dan suara canda tawa kami mengisi kawasan hellypad ini. Kami memang cukup kelaparan hidangan pembuka berupa minuman hangat menjadi pilihan sementara Ori, Heru dan Bowo turun ke arah kawah untuk mengambil persediaan air.

Selesai magrib makan malam kami sudah siap, ada sayur oseng buncis campur terong, tempura terong, Ikan asin, goreng daging kambing. Mhmmm lahap sekali kita makan bersama, sementara diluar tenda kabut masih menggatung menutupi jarak pandang kami. Tidak berapa lama kemudian kami akhirnya menyerah pada kantuk yang menyerang dan satu persatu akhirnya rebah terlelap didalam kehangatan sleeping bagnya masing-masing, diluar angin masih terdengar cukup kencang, alunan Nothing Gonna change my love for you – nya Peabo Bryson dari speaker Ipod yang tergantung di disisi tenda bagian dalam terus mengalun dan malampun jatuh semakin jatuh terlelap……

“oiiii bangun bagus nehhhhh…!!!” sayup-sayup suara teriakan seseorang membuat saya terbangun dari tidur, ahh tenyata cukup nyenyak tidur semalam rupanya karena tidak terasa hari sudah siang kembali. Perlahan saya muncul dari balik sleeping bag dan bagun pelan-pelan lalu membuka pintu tenda koneng yang telah melindungi dari dinginnya angin dan kabut gunung semalam. Begitu resleting pintu tenda dibuka serta merta udara dingin menyeruak masuk dan uhhh.. ternyata diluar masih memutih tertutup kabut tebal. Ori dan Bowo sudah sibuk diluar memasak air, perlahan dengan malas saya keluar tenda. Bbrrrrrr… dingin juga kayaknya segelas teh manis panas bisa menghangatkan badan nih, batin saya sembari mendekati Bowo dan Ori yang tengah asyik didepan kompor trangia. “ngopi bang..??” tawar Ori sambil menyeruput kopi hitam kentalnya, “gue teh aja deh, ada ngga?” sahut saya sembari ikut nongkrong didepannya, “ngga ada kayaknya nih, elo biasanya bawa teh kan bang?” lanjut Ori, “ada, bentar ya” saya beranjak ke tenda mengambil teh celup kesukaan. Memang saya tidak suka ngopi, tapi ngeteh, dan setelah menemukan yang saya cari sayapun memberikannya pada Ori. Dan tak lama kemudian segelas teh panas telah berada dalam genggaman tangan dan memberikan kehangatan saat menghirup pelan-pelan.

Jarum jam sudah menunjukan angka delapan tapi sepertinya kabut masih terus menyelimuti kawasan Merbabu, tidak ada yang bisa dilihat kecuali putih. “Bang gimana menurut elo?” Tanya Ori, “ kita tunggu aja dulu sapa tau ntar kabut beranjak” sahut saya pada Ori. Tapi ternyata kabut merbabu semakin tebal dan malah sekarang angin mulai bertiup semakin lama semakin kencang. “bang kayaknya ngga mungkin nih kita bawa ransel ngelewati badai begini, gue cemas sama yang cewek-cewek, gimana menurut elo” Tanya ori setelah melihat kemungkinan tipis sekali cuaca berubah menjadi baik. Saya diam sejenak dan melihat sekeliling. “gimana bang, kalo kita naik tanpa ransel aja, barang tinggal disini?” lanjut Ori. “ya tapi ngga bisa kita semua yang naik, bisa-bisa hilang semua nih tenda berikut isinya” sahut saya. Akhirnya setelah cukup lama berdiskusi dan mempertimbangkan keadaan, kami sepakat untuk merubah skenario pendakian yang tadinya rencana akan naik ke puncak dan mendirikan camp II di kawasan puncak dan turun lewat Selo pada hari berikutnya dirubah menjadi tetap ngecamp di Hellypad ini dan turun kembali melewati Wekas. Apa boleh buat demi keamanan, akhirnya kami memutuskan demikian.

“Ok deh kita bagi dua regu aja buat ke puncak” kata Ori, “sapa yang regu pertama? Gue ngikut regu pertama deh, elo gimana Ri?” ujar saya sambil balik bertanya sama Ori, “gue juga ikut yang pertama aja bang.” “Aku juga ikut yang pertama” terdengar suara Titi Ungu juga angkat bicara, dan akhirnya total tim yang pertama menuju puncak dengan ikutnya juga mba Rachmi adalah empat orang.

Menit-menit berikutnya kami berempat sudah berjalan menembus tebalnya kabut dan badai merbabu yang cukup kencang, perlahan dan dengan sangat hati-hati kami melewati “jembatan setan” sebuah jalur yang dikiri kanannya terdapat jurang, kami terus mendaki sesekali saya mengabadikannya. Sementara badai semakin kencang, saat melewati pertigaan puncak Syarif dan puncak Kenteng Songo tiupan angin semakin terasa, kami juga bertemu dengan sekelompok pendaki yang mundur karena tidak tahan angin, saya pikir lebih baik begitu karena dilihat dari pakaian yang mereka kenakan tanpa wind breaker sangat tidak aman sekali jika mereka nekat menembus badai ini. Setelah melewati tanjakan akhir, puncak Kenteng Songo kami raih, kabut pekat dan angin cukup kencang disana, tidak ada pemandangan yang bisa dilihat, setelah istirahat makan snack dan mengambil beberapa foto didekat batu-batu berceruk mirip lesung yang merupakan ciri khas puncak Kenteng Songo ini, kami bergerak turun kembali, tidak langsung turun tapi kami akan mengunjungi puncak ke dua yaitu Puncak Syarif.

Badai masih kencang dan saat sampai kembali di pertigaan puncak kami menemukan pendaki lain yang berlindung dibalik batu dengan cara tiduran dan berbungkus lembar plastik, ternyata mereka tengah menunggu temannya yang masih berada di puncak Syarif. Nasip kami sedikit baik saat berada di puncak Syarif, perlahan kabut tersibak dan badai berhenti namun terkadang tiupan angin masih terasa cukup kencang. Titi dan mba Rachmi berteriak-teriak senang minta di foto saat kabut perlahan tersibak dan terlihatlah sosok puncak gunung Sumbing dan Sindoro yang seakan mengapung diatas awan. Tapi saya sepertinya berpacu dengan kabut, begitu tersibak kembali dia menutup dan terus begitu beberapa kali.

Sosok Merapi terlihat tiba-tiba saat kabut beranjak di arah selatan, awan terlihat menutupi satu sisi bagian timurnya saja, sepertinya dipuncak Merapi juga tengah terjadi badai. Dalam perjalanan turun menuju camp perlahan kabut menghilang dan badaipun berhenti, camp kami di hellypad jelas terlihat dan dengan hilangnya kabut puncak-puncak lainnya juga semakin terlihat. Merbabu mempunyai ciri khas pemandangan yang lain daripada gunung lainnya, karena sembilan puluh persen dari gunung ini hanya di tumbuhi oleh rumput ilalang membuat jarak pandang tidak terhalang dan punggungan serta puncak-puncaknya jelas terlihat berwarna hijau kekuning-kuningan.

“Suwasti jadi kepuncak ngga cepat buruan mumpung cuaca bagus tuh” kata saya saat sampai kembali di Hellypad lokasi camp kami. “ngga ah males” jawab dia. “iya malas ah, gue juga dah beberapa kali nyampe puncak bang” timpal Bowo juga dan Heru sepertinya sependapat. “makan bang tadi kita dah masak tuh” lanjut Bowo, tanpa komando lagi kami yang memang kelaparan dari puncak segera menyantap makanan yang telah disediakan oleh sahabat-sahabat yang baik hati ini. “uuu.. tau ngga pada kepuncak mending kita main-main dulu tadi dipuncak” gumam Titi begitu mengetahui Heru, Suwasti dan Bowo tidak jadi kepuncak.

Hari masih sore, saya mengisinya dengan motret sana sini, ngga puas-puasnya mengarahkan camera mengabadikan pemandangan indah dari gunung Merbabu ini. Selanjutnya kami mengisi waktu dengan main kartu remi, dan sebagaimana halnya kabut Merbabu yang sudah tersibak ternyata ada juga kisah dua anak manusia yang tersibak dalam perjalanan ini dan tak pelak lagi keduanya menjadi sasaran canda hingga tak berkutik menerima ledekan dari kami berlima, terlebih yang cowok mukanya sesekali bersemu merah, entah apa yang ada dihatinya saat menerima ledekan kami. Mudah-mudahan saja mereka juga saling suka. Sayang sekali battery Ipod saya sudah habis, kalau tidak saya akan putarkan lagu “Sempurna” nya Andra and the backbone untuk mereka berdua. Kami main kartu hingga hari menjadi gelap. Malam ini cerah sekali dibawah sana kerlap-kerlip lampu kota jelas terlihat dan perlahan tapi pasti purnama pun muncul dengan sosok yang utuh. “aduh sayang sekali kita ngga jadi ngecamp di puncak, coba ngga badai ya dan kita bisa ngecamp dipuncak pasti pemandangan malam purnama dengan sosok Merapi sebagai back ground akan sangat bagus sekali” gumam saya sembari terus mengabadikan malam yang hening ini.

“Mas-mas tolong teman saya pinsan” ujar seseorang mendatangi tenda kami, rupanya mereka tiga orang pendaki lain yang mendirikan tenda tidak jauh dari tempat kami nenda. Bergegas kami menuju kesana, rupanya yang pinsan itu adalah teman perempuan mereka, saya meraba nadinya dan masih berdenyut normal, “kenapa dia” Tanya Bowo, “tau mas tadi ngga apa-apa malah habis ngerokin dia” sahut cowok yang memanggil kami tadi sambil menunjuk teman cowoknya, “terus tadi tidur tiba-tiba pinsan” lanjut dia lagi. “tadi kehujanan ya? Sudah makan belum dia” Tanya saya. “dia ngga mau makan mas, ngga napsu katanya” sahut temannya. Ya ini sering terjadi pada pendaki pemula, mereka sering kehilangan napsu makan saat mendaki, kehilangan napsu makan dan merasa mual saat mendaki adalah gejala awal dari mountain sickness.

Setelah siuman Titi dan Suwasti merawatnya dengan memberikan minuman dan makanan hangat. Kami kembali ke tenda setelah keadannya kembali normal, hanya Titi dan Suwasti masih disana, namun tidak lama mereka bedua sudah kembali, malam semakin larut angin sepoi-sepoi berhembus, purnama bulat penuh. Lega rasanya pendaki cewek itu bisa diselamatkan.

“Bang bagun bang… bagus nih….!!!” Terdengar teriakan Ori dari luar tenda, saya tersentak bangun. Pulas sekali tidur, masih sekitar jam 5 pagi saya ragu untuk keluar takut dikerjain lagi seperti kemaren, namun rupanya benar sat keluar tenda saya lihat purnama sudah condong, sementara di ufuk timur bias sang fajar perlahan muncul menggantikan sinar purnama. Namun sayang awan cukup tebal di ufuk timur sehingga bias yang muncul tidak begitu jelas. Saat matahari semakin naik, kami yang cowok-cowok turun ke arah mata air didekat kawah untuk mengambil air, mata air ini mengalir keluar dari sebuah lubang dan dialirkan pada pipa-pipa turun ke perkampungan, pipa-pipa ini bisa ditemukan disepanjang rute pendakian jalur Wekas, bahkan sumber air di pos 3 berasal dari pipa yang dibolongi. Memang rasa airnya sedikit asam, tapi lebih baik dari pada kehausan.

Selesai sarapan dan packing-packing kami sempatkan untuk foto bersama dan setelah itu kembali kaki-kaki kami menapaki jalur setapak turun kembali ke Wekas, tidak terlalu lama waktu yang kami perlukan untuk mencapai Wekas hanya kurang lebih 5 jam kemudian kami sudah berada kembali di rumah pak Sutyoso sang kuncen jalur Wekas. Kami bermalam disini dan baru turun ke Jogja keesokan harinya untuk bertemu Mba Lia moderator HC Jogjakarta.

Sewaktu mobil pickup yang kami tumpangi bergerak meninggalkan Wekas tampak sosok Merbabu yang kembali ditutupi kabut, namun dibalik kabut itu tersimpan pemadangan yang indah, cerita yang indah yang mudah-mudahan terus berlanjut menjadi alur yang indah dan bukan hanya sebagai kenangan indah “Dibalik kabut Merbabu”.

November Rain di Gn. Gede


Kau begitu sempurna
Dimataku kau begitu indah
kau membuat diriku akan slalu memujimu
Disetiap langkahku
Kukan slalu memikirkan dirimu
Tak bisa kubayangkan hidupku tanpa cintamu
Janganlah kau tinggalkan diriku
Takkan mampu menghadapi semua
Hanya bersamamu ku akan bisa

Alunan “Sempurna” nya Andra and the backbone mengalir dari HP nokianya Ori, ya kau memang begitu sempurna, kau memang begitu menarik dan penuh pengertian - aku membatin sendiri mengenang seseorang sambil tenggelam sibuk memasak buat tiga orang teman-teman pendaki ku yang tengah kelaparan ini. Sementara diluar sana angin lembah Surya Kencana bergemuruh menghantam lembar flysheet tambahan yang dipasangkan pada tenda Eureka milik Ori ini, mengeluarkan bunyi kepakan-kepakan bagaikan sayap-sayap elang. Masih sekitar jam tujuh malam, udara cukup dingin, kabut tebal dan berangin kencang menyelimuti lembah Surya kencana Gunung Gede. Didalam tenda kami saat ini ada Ori yang santai menikmati sigaretto nya dan Titi ungu yang sibuk membantu mengiris sayur buncis serta ada mas Ei yang ikut ambil bagian memotong dendeng kering menjadi potongan-potongan kecil agar mudah menggorengnya. Ditenda sebelah ada Tanti, Neni dan Asep. Di tenda depan Ada Budi Hijau, Hanung, Danis, dan Gery sedangkan disebelahnya lagi ada tendanya Cepot dan Elly.

Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku
Lengkapi diriku
Oh sayangku, kau begitu
Sempurna.. Sempurna..
Kau genggam tanganku
Saat diriku lemah dan terjatuh
Kau bisikkan kata dan hapus semua sesalku

Sempurna – nya Andra and the backbone masih mengalir. Ya saya dan teman-teman tengah berada di gunung Gede malam ini. Pendakian yang di prakasai oleh Tanti dari #pendaki ini diikuti oleh 13 orang termasuk saya. Sabtu pagi kami memulai pendakian, tidak terburu-buru, langkah kami mengalir seiring dengan hebusan sejuknya angin gunung dan cuaca sepanjang pendakian juga cukup bersahabat meskipun beberapa kali kabut tebal sempat turun namun kami masih diberikan keberuntungan tidak dibasahi oleh hujan. Dan saat kami mencapai wilayah alun-alun timur Surya kencana sekitar jam empat sore, kabut cukup tebal menggantung di hamparan padang Surya Kencana, gunung Gemuruh disebelah kiri tertutup kabut. Namun langkah dan tawa canda gerombolan kami memecahkan kesunyian padang ini. Bunga abadi Edelweiss tampak sudah mulai kering menguning kecoklatan, wanginya sudah tidak tercium, namun jika kita mengujungi lembah ini di bulan Juni semerbak edelweiss yang sedang mekar akan menyeruak memenuhi rongga hidung saat hembusan lembut angin gunung menghantarkannya keindra penciuman kita.

Lokasi kami mendirikan tenda saat ini tidak begitu jauh dari sumber air, berada diseberang sungai kecil tepatnya di kaki punggungan gunung Gemuruh. Pendaki lain tidak begitu banyak, namun lokasi nenda strategis sudah terisi mereka inilah yang membuat kami memilih tempat ini sebagai tempat bermalam dan beristirahat. “Bang dah kelar nih buncisnya” ujar Titi memecahkan keheningan saya. “Ok Ti, lanjut sama bawang merah dan putihnya, juga sekalian cabenya tolong di iris”. Jawab saya sambil terus menggoreng potongan-potongan dendeng. Ini adalah pendakian kedua saya sama teman-teman #Pendaki, sebelumnya saya sempat gabung mereka ke gunung Salak.

Udara makin dingin, tiupan angin masih kencang, tapi rasa dingin tersebut bisa terobati oleh kehangatan diberikan saat menghirup teh manis hangat. Tidak begitu banyak obrolan diantara kami, semua sibuk dengan keasyikannya, mas Ei tampak mulai memasangkan sarung tangan menutupi jemari tangannya. Tidak lama kemudian santap malam kami pun sudah siap, yaitu dendeng, sayur oseng buncis, dan ditambah tempe teri balado yang dibawa oleh Titi. Sederhana sekali tapi cukup membangkitkan selera saat menyantapnya. Usai ritual makan seperti biasa, keinginan untuk segera rebahan tidak bisa ditunda lagi terlebih dengan cuaca seperti sekarang, tidak yang bisa mencegah keinginan untuk segera masuk ke sleeping bag dan tidur dengan nyaman. Diluar kepakan-kepakan lembar flysheet tenda yang di hantam angin lembah ini terasa bagai musik alam yang menggatikan Andra and the backabone yang sudah dari tadi menghilang. Karena rasa kantuk dan lelah akhirnya kami semua tertidur lelap. Saya segera tertidur, melupakan kepenatan saat pendakian tadi melupakan sosok yang sore tadi sepintas terlihat mengawasi kami, juga sosok muka yang mengintip dari jendela tenda saat saya tengah memasak. Biarkan mereka mengenal kami dari jauh saja.

Aku terbangun karena mimpi yang ngga enak bener, yaitu mimpi ngerjain kerjaan di kantor padahal sudah jamnya untuk pulang, saya ngomel tapi sempat terdengar oleh Titi, dan antara setengah sadar dan enggak saya sempat denger titi bilang “Hei bang Hendri ngigo tuh..” saya pun perlahan bangun dan menjawabnya “ngga ti gue ngga ngigo gue mimpi” - wekkkkkk… sama aja ya hahahahahaha……

Perlahan tenda dibuka angin dingin menyeruak masuk, mhmm masih berkabut, sedianya recanan Tanty yang menjabat leader kami, tadi subuh harusnya kita mendaki kepuncak untuk ngejar sunrise, tapi rupanya cuaca tidak bersahabat sehingga membuat kami lebih memilih bergelung kembali dibalik kehangatan rangkulan sleeping bag masing-masing, dan baru mulai bangun saat matahari sudah mulai menyising. Kesibukan mulai terdengar detingan suara misting (peralatan masak) memecahkan keheningan lembah pagi itu. Angin sudah tidak bertiup lagi, namun terasa masih dingin. “ayo bang masak sarapan dong.” Rengek Titi, mungkin cacing di perutnya sudah mulai bergeliat minta jatah. Saya masih enggan keluar dari sleeping bag, Ori yang sudah berada diluar cepat tanggap menyiapkan kompor dan memasak air. Sementara Sempurna – nya Andra and backbone kembali terdengar dari HP Ori.

Saat matahari mulai perlahan naik, kesibukan mulai terlihat, dari tadi malam bibir ini saya tahan untuk tidak meledek dua mahluk yang satu tenda dengan saya, akhirnya mulailah ritual tersebut entah siapa yang memulai ledekan-ledekan mulai meluncur dan ternyata Ori pun merasakan hal yang sama, “Bang sebenernya gue mulai dari semalam pengen ngecengin hehehehehehe”. Ujar ori sembari menyerigai khas nya dia. Dan pecahlah pagi itu dengan riuh redah candaan saya dan ori, sementara kedua sasaran jadi mati gaya.

Saat matahari mulai menyapa rerumputan Surya Kencana, sinar lembutnya menggoda saya untuk membuat sesi pemotretan ala model, dan jadilah Tanti, Titi, Gery dan Elly menjadi sasaran camera saya, Hanung juga ikut bergabung menjadi fotographer dadakan. Pose demi pose dan jepretan-demi jepretan, tak terasa waktu terus begulir hingga tibalah saatnya kami harus meninggalkan lembah ini turun menuju Cibodas, akan tetapi harus mendaki puncak terlebih dahulu dan baru turun kemudian.

Selesai packing, perlahan kami berajak meninggalkan lembah yang sudah sekian kalinya kami datangi, ya lembah ini tidak pernah bosan kami kunjungi pesona nya bagaikan keindahan seorang wanita yang begitu sempurna.

Kau begitu sempurna
Dimataku kau begitu indah
kau membuat diriku akan slalu memujimu
– Andra and the backbone.

Puncak kami raih setelah perjalanan pendakian menapaki jalur jalan setapak. Beberapa teman ternyata ada yang baru pertama kali mencapainya, namun sayang cuaca tidak bersahabat, Kabul tebal menyelimuti puncak menghalangi pemandangan kawah dan lembah surya kencana. Cukup lama kami istirahat menunggu kabut tersibak, namun rupanya peruntungan tidak memihak kepada kami, bukannya kabutnya yang tersibak malah hujan yang datang menemani kami. Cuaca seperti ini tidak baik berlama-lama di puncak, kami beranjak turun menuju Cibodas, hujan makin lama makin deras dan sampai disuatu tempat dimana pernah Sobat kental dari Ori, mengalami kecelakaan kami berdo’a sejenak untuk mengenangnya.

Saat turun hujan makin menjadi, hingga sampai di Pos Kandang Badak hujan semakin deras. Tapi kejutan yang menyenangkan ada disana, Buluk teman di milis #pendaki sudah menunggu dengan satu thermos kopi hangat dan nasi bungkus yang masih hangat, semuanya suka cita melihat teman yang satu ini. Saat masih di Kandang Badak saya juga bertemu Jenny Irma sahabat lama saya. Dia mendaki dengan tiga orang temannya.

Hujan semakin deras tidak ada tanda untuk berhenti, langkah dilanjutkan. Dari Ipod saya mengalun November rain – gun n roses, mengiringi langkah saya menembus lebatnya hujan. Pos demi pos dan shelter demi sheter dilewati, hujan terus menguyur hanya sejenak berhenti dan kemudian kembali deras mengguyur. “Benar-benar November rain.” Gumam saya sendiri. Pos TNGP Cibodas kami raih sekitar jam 4 sore, kemudian kami beristirahat di Pondok Relawan Montana, menunggu hujan reda.

Pendakian ini begitu berkesan bagi saya, banyak sahabat baru yang bertemu. Kehangatan sebuah persahabatan begitu terasa mengalahkan dinginnya hembusan angin gunung, pekatnya kabut lembah dan derasnya hujan di bulan November, ya sahabat sangat menyenangkan sekali bersama kalian bersama menikmati “November rain di Gunung Gede”.

'Seven sums' di Dempo


“Gue masih dijalan, ada kerusakan mesin nih. Mungkin dua jam lagi baru sampe..” ujar suara diseberang telpon. Dia adalah Halida, anak Palembang yang kerja di Pekan Baru. Sekitar jam sebelas siang saya dan teman-teman baru saja mendarat di Bandara Sultan mahmud Badaruddin II, Palembang. Ada enam orang dalam rombongan kali ini yaitu Bang Kamser, Yadoet, Ogen, Titi dan Rina. Sedianya ada Fedy yang bakal ikut tapi karena tugas yang tidak bisa ditinggalkan akhirnya digantikan oleh Ogen. Telpon dari Halida saya terima saat tengah menunggu bagasi di arrival hall. Halida juga akan ikut dalam rombongan kami, kali ini kami akan mengunjungi atap dari bumi Sriwijaya ini yaitu Gunung Dempo.

Apa boleh buat, kami menunggu Halida yang tengah berjuang untuk segera sampai di Palembang. Sedianya menurut rencana Halida sudah ada di bandara menjemput kami dan segera berangkat ke Pagar Alam yang merupakan entry point ke gunung Dempo. Hujan mengguyur bumi Sriwijaya, sementara kami menunggu Halida dan ternyata mobil travel yang kami pakaipun tidak bisa berangkat lebih cepat dari waktunya seperti rencana kami, entah salahnya di komunikasi atau mereka yang tidak tepat janji, yang pasti kami tidak bisa berangkat lebih cepat dari jadwal mereka walaupun kami mencarter satu mobil. Menurut informasi yang didapat baru ada satu perusahaan travel yang beroperasi untuk trayek Palembang dan Pagar alam ini. Jadi memang mau tidak mau akhirnya saya hanya bisa memendam rasa dongkol karena sudah akan terbayang waktu tunggu yang terbuang percuma. Hujan terus mengguyur dan setelah makan siang Halida pun nongol menjemput kami, tidak tanggung-tanggung kedua orang tuanya pun ikut menjemput, wah jadi tidak enak. Dan kami pun melaju memasuki kota Palembang dan langsung ke lokel travel, disana kami harus masih menunggu. Alasan mereka tidak bisa berangkat cepat adalah karena mobil tidak ada semua sedang dalam perjalanan dari Pagar Alam menuju Palembang. Kendaraan travel ini sehari hanya beroperasi dua kali untuk trayek Palembang – Pagar Alam yaitu pada pukul 08.00 pagi dan pukul 17.00 sore. Kembali kebosanan menunggu melanda kami..........

Akhirnya setelah penantian yang cukup membosankan itu, sekitar jam enam sore akhir kami semua bisa juga duduk didalam mobil L300 yang telah melaju membawa kami menuju Pagar Alam. Perjalanan yang akan kami tempuh kurang lebih tujuh jam, tidak ada yang istimewa selama perjalanan, kecuali canda tawa kembali terdengar setelah tadi selama menunggu semua terlihat bungkam karena bosan. Malam semakin larut mobil semakin melaju membelah gelap malam dan satu persatu dari kamipun tertidur .

Sekitar jam 12 malam lewat kami dibangunkan oleh supir mobil tepat berhenti dipinggir jalan dan saya ingat ini adalah Rumahnya Pak Anton, akan tetapi rupanya pak anton sudah tidak tinggal disana lagi. “Pak Anton tinggal dirumahnya sendiri sekarang diatas dekat kebun teh” kata orang yang menempati rumah lama pak Anton. Tidak susah menemukannya dan setelah bertemu pak Anton kami pun menginap di pondok pendaki dibelakang rumah pak Anton. Disana sudah ada dua orang anak Pecinta Alam Edelweiss dari Universitas Atmajaya Jakarta., tidak lama kemudian kami sudah terlelap kembali karena rasa kantuk yang tidak tertahan.

Cukup lelap tidur semalam dan saya baru terbangun jam setengah enam, sementara yang lain masih terlihat tidur nyenyak, mau tidak mau harus dibangunkan karena harus berangakt pagi. Akan tetapi hambatan baru kembali kami hadapi yaitu lewat informasi dari istri pak Anton kami baru tahu bahwa alat transportasi menuju Kampung Empat yang merupakan entry point pendakian sudah berangkat jam lima pagi lalu, dan mobil lain yang bisa dicarterpun tidak ada. Waktu semakin berjalan matahari semakin naik, akhirnya saya berhasil mendapatkan kendaran pickup untuk dicarter, sekitar jam sepuluh lewat akhirnya kami baru bergerak menuju Kampung Empat. Saya pernah mengunjungi gunung ini tapi itu semasa di SMA dulu kalau dihitung waktu sekitar 20 tahun yang lalu, banyak sekali perubahan yang terjadi di Pagar Alam ini, dan ini pun berdampak pada penentuan titik awal menuju pintu rimba, saya lupa!!!! Dan gawatnya juga Halida yang sudah tiga kali ke gunung ini juga lupa, wah gimana???? Teman-teman pada punya inisiatif menelpon teman-temannya yang pernah mendaki gunung ini. Namun petunjuk yang didapat tidak begitu jelas, akhirnya setelah celingukan di kebun teh, kami menemukan juga sebuah jalan setapak, jalan ini pada awalnya cukup jelas namun setelah lama berjalan jalannya tidak begitu jelas dan terkadang putus. Namun saya merasa sepertinya dulu waktu mendaki gunung ini melewati jalur yang ini. Jalurnya cukup bagus meskipun terkadang tertutup semak belukar dan daun-daun lapuk, stringline (tali raffia yang diikatkan pada pohon) penujuk jalan masih ada dibeberapa tempat meskipun sudah lapuk dimakan usia. Yang enaknya dari jalur ini adalah kondisinya yang lurus terus di satu punggungan dan dikiri kanannya ada aliran sungai. Saya memutuskan untuk terus melewati jalur ini, dan perlahan kami terus menambah ketinggian. Tidak ada pos pada jalur ini, yang ada hanyalah lumut tebal pada jalan setapak dan pohon-pohon disekitarnya.


Hari semakin sore, kami masih di jalur lama dan belum menemukan jalur normal, tapi dari altimeter di GPS sudah menunjukan ketinggian 2500 lebih, dan dari jenis tumbuhan vegatasi daerah puncak sudah mulai dijumpai dan ini membuat saya semakin optimis. Akhirnya kami sampai pada daerah yang jalan setapaknya tiba-tiba hilang, lalu Ogen pun ditugaskan memantau kedepan sementara yang lainnya menunggu, dan ternyata jalur normal tidak jauh dari kami hanya berjarak sekitar lima belas meter. Kami semua senang sekali dan yang lebih menyenangkan adalah sekitar sepuluh meter dari pertemuan jalur lama dan jalur normal ini adalah merupakan lokasi dari Pos II. Jarum jam menunjukan pukul lima lewat sepuluh menit. Hujan kembali turun, kali ini cukup deras dan kamipun memutuskan untuk beristirahat di pos II masak dan berteduh. Dibawah bentangkan fly sheet kami duduk saling menghangatkan diri menunggu masakan matang. Dari pagi kami belum bertemu nasi. Sementara malam mulai turun dan hujan masih terus mengguyur, kami kemudian memutuskan untuk istirahat hingga jam sepuluh malam sambil menunggu hujan reda dan kemudian baru meneruskan kembali menuju alun-alun atau pendaki lokal menyebutnya dengan pelataran.

Tapi setelah perut cukup terisi proses pencernaan telah menghasilkan panas tubuh yang kami butuhkan. Setelah packing perlahan kami kembali meneruskan perjalanan menembus malam, iring-iringan headlamp (senter kepala) kami perlahan bergerak meninggalkan Pos II. Rute pendakian dari pos II ini terasa sangat menanjak dan tak jarang kami harus mengeluarkan tenaga ekstra memanjat undakan tanjakan yang tingginya kadang mencapai dua meter. Hujan telah berhenti namun kali ini kami ditemani kabut tebal dan angin kencang, sangking tebalnya kabut cahaya headlamp kami tidak mampu menembus jauh. Setelah perjalanan kemaren kami kurang cukup tidur ditambah lagi trekking malam membuat rasa kantuk mudah menyerang kami, setiap beristirahat maunya mencari tempat duduk yang nyaman dan tak jarang tertidur. Akhirnya kami memutuskan untuk berhenti dan tidur, namun lokasi untuk mendirikan tenda susah didapat, kami menemukan satu lokasi tapi hanya muat satu tenda, kemudian saya dan Yadoet memutuskan untuk mencoba men-survey kedepan mungkin ada lokasi yang bisa memuat tiga tenda, tapi nihil, sementara angin bertiup sangat kencang. Maka jadilah mau tidak mau kami harus mendirikan satu tenda saja, dari ketiga tenda yang dibawa tenda TNF seri Oval 25 kayaknya layak untuk dimuati tujuh orang dan kamipun mulai mendirikan tenda tersebut dibawah tiupan angin yang cukup kencang, lokasi tendanya pas sekali untuk ukuran tenda itu malah agak melipir kejurang. Semua ransel dan barang kami kumpulkan jadi satu diluar tenda, setelah berganti pakaian satu persatu kami memasuki tenda. Ajaib jumlah tujuh orang bisa masuk kedalam tenda ukuran dua orang (dua orang untuk ukuran standar dari pabrik TNF). Dengan sedikit improvisasi mengatur posisi tidur akhirnya kami bertujuh bisa juga berbaring meskipun tidak bisa bergerak banyak, dan jadilah malam itu kami ber ‘Seven sum’ di Dempo, ya bertujuh dengan satu tenda. Mungkin karena rasa capek dan rasa kantuk yang tak tertahan cepat sekali saya terlelap tidur meskipun sayup-sayup terdengar dengkuran cewek dan bahkan ada yang juga mengigau memanggil-mangil nama seseorang.

Cukup lama kami berlindung dari hujan dibawah bentangan flysheet (lembar anti air). Dan setelah hujan perlahan berhenti, jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam, perut sudah terisi makanan, tadi sewaktu perut kosong hawa dingin gunung terasa sangat menusuk. Akan teSaya terbangun saat merasakan sentuhan hangat pada pipi saya, saat buka mata ternyata muka saya menempel pada diding tenda dan pas sekali tersiram dengan cahaya matahari yang menerobos lewat sela-sela pepohonan. Masih malas untuk bangun tapi harus bangun karena kami masih harus melewati etape tanjakan daerah cadas yang akan mengantarakan kami ke puncak Dempo, yang merupakan puncak kedua gunung ini. Gunung Dempo mempunyai dua buah puncak, yang pertama disebut dengan puncak Dempo, puncak ini akan pertama kali kita lewati saat mencapai kawasan puncak dan yang kedua disebut dengan Puncak Marapi yang merupakan puncak utama dari gunung Dempo. Selepas puncak Dempo jalan setapak akan turun menuju daerah alun-alun atau pendaki setempat menyebutnya dengan sebutan “Pelataran” padang rumpun ini cukup luas dan terdapat sumber air berupa sungai kecil yang mengalir jernih. Dari sini menuju puncak Marapi tidak jauh lagi hanya sekitar 30 menit pendakian. Kami bertujuh sampai di puncak Dempo ketika hari masih pagi dan setelah berfoto bersama kami segera turun menuju Pelataran dan sejenak beristirahat sembari minum teh hangat. Kemudian tidak membuang waktu kami segera bergerak menuju puncak utama.

Cuaca cerah sekali, langit biru berawan, kawah gunung Dempo jelas utuh terlihat berwarna putih kehijau-hijauan, warna air kawah gunung Dempo ini kadang kala berubah menjadi warna hijau pekat atau putih pekat. Saat dipuncak kami sempat bertemu dengan adik-adik dari kelompok pecinta alam Edelweiss Universitas Taruma Negara Jakarta. Setelah berfoto-foto dipuncak dan menikmati pemandangan dari puncak kami pun kembali beranjak turun menuju pelataran, dan memasak makan siang disana, untung sekali Halida membawa rendang dan Titi membawa orek tempe sehingga bisa dijadikan lauk teman makan nasi. Sebenarnya ada tawaran yang lebih menggiurkan lagi kami terima yaitu tawaran dari penduduk Pagar alam yang kebetulan tengah mengadakan upacara syukuran di pelataran dengan menyemblih kambing, tawaran ikutan makan daging kambing terpaksa kami lewatkan karena pasti bakal lama dan memakan waktu.

Perjalanan turun kami menggunakan jalur normal, namun jika dibandingkan dengan jalur lama yang kami pakai naik kemaren. Jalur normal ini jauh lebih hancur, saya bilang hancur adalah karena sangat terjal dan dipenuhi akar pohon yang malang melintang. Undakan tanjakannya tinggi-tinggi dan di perparah lagi dengan kondisi yang basah dan licin, harus ekstra hati-hati melewatinya dan di beberapa tempat kami menemukan pohon yang baru tumbang, mungkin ini disebabkan oleh badai yang lumayan kencang semalam. Jalur lama yang kami tempuh naik kemaren jalan setapaknya meskipun sudah tertutup oleh semak dan dedaunan tapi cukup kompak dan enak untuk ditapaki. Hanya sesekali kami menemukan rintangan berupa pohon tumbang atau jalur yang terputus. Cukup dengan orientasi medan dan dibantu dengan data dari GPS jalan setapaknya kembali bisa ditemukan. Tapi jalur normal meskipun sangat jelas, namun untuk mendakinya atau menuruninya kita harus berpegangan pada akar-akar pohon selain itu juga rute normal jalurnya beberapa kali pindah punggungan serta melingkar ini sangat berpengaruh pada kecepatan tempuh, jalur lama hanya bergarak lurus dalam satu punggungan meskipun punggungan yang terpecah akan tetapi masih dalam alur punggungan yang sama. Sewaktu berbicang-bincang dengan adik-adik dari Edelweiss saat kami bertemu lagi di Pos I, mereka menceritakan saat mulai mendaki dari pintu hutan sekitar jam delapan pagi dan sampai di Pos II jam lima sore, sedangkan kami mulai dari pintu hutan jalur lama jam sebelas siang dan sampai di Pos II jam lima sore lewat sepuluh menit, dan ditengah perjalananpun kami sempat beristirahat makan siang selama satu jam. Jadi sebenarnya jalur lama ini jauh lebih cepat dan lebih nyaman untuk di tempuh, dan selain itu banyak sumber airnya karena di kiri kanan jalur ada sungai yang mengalir.

Saya dan Yadoet turun duluan karena kami telah membuat janji dengan supir pick-up untuk menjemput kami di entri point kebun teh, akan tetapi mengingat sewaktu kami bergerak turun dari lokasi camp tadi sudah jam tiga sore, agaknya kalau tidak cepat-cepat tidak akan keburu sampai dibawah sana jam lima sore. Meskipun sudah berusaha cepat untuk sampai dibawah, karena keadaan medan jalan setapaknya yang sangat terjal dan dipenuhi oleh akar-akar pohon yang malang melintang membuat kami berdua tidak bisa berjalan dengan cepat dan akhirnya sampai di pintu rimba jam enam kurang sepuluh menit, dan tepat jam enam sore sampe di entri point jalan raya kebun teh dan suduh pasti mobilnya sudah tidak ada. Saya memutuskan untuk jalan terus hingga ke kampung empat dan mencari kendaraan disana nanti.

Titi dan Rina sampai di jalan kebun teh saat hari sudah gelap dan tak lama kemudian menyusul Ogen, Bang Kamser dan Halida dibelakang, untungnya saya dan Yadoet berhasil mendapatkan mobil sehingga bisa menjemput mereka hingga ke entri point kebun teh, lega karena semua bisa sampai dengan selamat dibawah. Malam ini juga kami langsung kembali ke Palembang, dan hanya mampir sebentar di Rumah Pak anton untuk mengambil barang-barang yang kami titipkan dan langsung menuju loket mobil travel yang telah kami booking untuk kembali ke kota Palembang, karena besok sudah menunggu perjalanan seru lainnya yang tidak kalah menyenangakan yaitu wisata kuliner dan hunting photo di jembatan Ampera.